Jakarta, Gesuri.id - Ketua Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup DPP GMNI Zulzaman mengecam keras ketentuan jangka waktu hak atas tanah berbasis hak pengelolaan dalam draf RUU Cipta Kerja.
Zulzaman menegaskan klausul itu merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Baca: GMNI Nilai Kemenkumham Pakai Cara Orba Memecah-belah
"Pada UUPA Nomor 5 tahun 1960, jangka waktu HGU diberikan selama 25 atau 35 tahun kepada pemohon yang memenuhi persyaratan. Jadi, ketentuan hak pengelolaan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja sangat bertentangan dengan UUPA," tegas Zulzaman dalam keterangan persnya, Sabtu (19/9).
GMNI memang tidak akan pernah berhenti menghujamkan kritikan pada draf Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
Pada Pasal 127 ayat (3) RUU Cipta Kerja, hak pengelolaan diberikan selama 90 tahun. Hak pengelolaan ini dapat berupa hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP).
Zulzaman melanjutkan, lamanya jangka waktu Hak Pengelolaan tersebut merupakan eksploitasi terhadap rakyat, dengan menggunakan instrumen negara. Dan dibalik eksploitasi terhadap rakyat itu, ada kepentingan oligarki kapitalis yang kental dalam RUU Cipta Kerja.
"Jadi, ketentuan itu sangat bertentangan dengan ideologi dan politik agraria nasional bangsa ini. Bahkan, klausul itu lebih jahat dari ketentuan pemberian konsesi pada era penjajahan Belanda, yang hanya 75 tahun," ungkap Zulzaman.
Zulzaman juga mengingatkan bahwa ketentuan jangka waktu hak pengelolaan atas tanah selama 90 tahun itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21-22/PUU-V/2007.
Putusan MK tersebut membatalkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengatur pemberian HGU selama 95 tahun, yang berarti lebih lama dari UUPA Nomor 5/1960 dan RUU Cipta Kerja.
Baca: GMNI Kecam Persekusi Intoleran Pada Jemaat HKBP KSB
"Jadi, faktanya, klausul pengelolaan tanah yang jangka waktunya lebih lama dari UUPA Nomor 5/1960, sudah dinyatakan melanggar konstitusi atau UUD 1945 oleh MK. Nah, apabila kini melalui RUU Cipta Kerja, Pemerintah dan DPR ngotot meloloskan klausul pengelolaan tanah yang juga lebih lama dari UUPA Nomor 5/1960, berarti Pemerintah dan DPR secara sadar melanggar Konstitusi,” ucap Zulzaman.
Klausul seperti itu, lanjut Zulzaman, hanya melanggengkan ketimpangan struktur agraria negeri ini. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), hingga kini 0.68- 1 % penduduk Indonesia menguasai 68% tanah.
Dan klausul pengelolaan tanah dalam Omnibus Law itu hanya akan memperparah ketimpangan yang mencolok tersebut, berikut konflik agraria yang tak berhenti hingga kini.
"Ketentuan soal hak pengelolaan tanah ini sejatinya semakin memperlihatkan pada rakyat, bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja memang layak untuk ditolak. Dan sikap GMNI sedari awal sudah jelas, menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena sangat kapitalistik dan liberalistik," tegas Zulzaman.