Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR Evita Nursanty meminta pemerintah yang terlanjur memberikan “karpet merah” kepada Starlink , untuk bersikap adil dan konsisten. Jika tidak, Evita khawatir dua hingga tiga tahun lagi perusahaan telekomunikasi dan internet di Indonesia berpotensi bangkrut, dan negara kehilangan kontrol langsung atas infrastruktur komunikasi.
“Saya harap pemerintah mendengar juga suara operator kita di dalam negeri yang selama ini telah berpartisipasi dalam pembangunan telekomunikasi dan internet di Indonesia. Berikan mereka equal playing field dengan keadilan dalam pemberlakuan pemenuhan kewajiban masing-masing,” kata Evita, politikus PDI Perjuangan ini, Kamis (23/5/2024).
Menurut Evita, sebagai sesama pemain di industri internet, Starlink harusnya memenuhi berbagai kewajiban yang sama seperti perusahaan lainnya, mulai dari kewajiban pendirian badan usaha yang berkedudukan di Indonesia, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), aspek potensi interferensi, penerapan kebijakan perpajakan dan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kewajiban pemenuhan Quality of Service (QoS), hingga aspek perlindungan dan keamanan data, serta aspek kedaulatan bangsa.
Evita mengingatkan, regulasi yang tidak cukup ketat terkait layanan internet satelit seperti Starlink dapat menyulitkan operator telekomunikasi lokal untuk bersaing dengan perusahaan asing yang memiliki kemampuan besar. Terjadi juga persaingan yang tidak seimbang. Jika biaya langganan Starlink turun drastis seperti yang direncanakan oleh perusahaan, operator telekomunikasi lokal di Indonesia mungkin kesulitan bersaing dalam hal harga layanan internet. Hal ini dapat mengarah pada penurunan jumlah pelanggan yang beralih ke Starlink.
“Ancaman-ancaman ini dapat berdampak negatif terhadap operator lokal di Indonesia, baik dari segi pendapatan, penetrasi pasar, maupun posisi bersaing dalam industri telekomunikasi domestik. Oleh karena itu, perlu ada regulasi yang jelas, kerja sama dengan pemangku kepentingan, dan strategi bisnis yang adaptif. Ini kalau tidak segera diatur, dalam dua atau tiga tahun ke depan, semua perusahaan telekomunikasi dan internet di Indonesia bisa bangkrut,” kata Evita.
Evita menyebut, ketergantungan pada layanan internet satelit seperti Starlink yang dioperasikan oleh perusahaan asing dapat mengakibatkan negara kehilangan kontrol langsung atas infrastruktur komunikasi, membatasi kemampuan untuk mengambil tindakan darurat atau koordinasi dalam situasi konflik.
“Semua alat sadap milik KPK, BIN, Polri, Kejaksaan akan tidak berguna karena tidak ada akses ke Starlink. Kemudian, kemungkinan campur tangan asing dalam operasional komunikasi, dan gangguan terhadap fungsi penting pemerintah dan militer dalam koordinasi dan respons darurat,” ucapnya.
Tak hanya itu, ancaman akses yang tidak diinginkan oleh negara asing atau entitas jahat terhadap infrastruktur satelit dapat mengakibatkan serangan siber seperti mata-mata atau penyalahgunaan data, yang dapat merugikan keamanan nasional.
“Penggunaan layanan Starlink yang tidak mengikutsertakan NOC (Network Operation Center) dan NAP (Network Access Provider) lokal dapat menghambat kemampuan pemerintah dalam mengawasi dan mengantisipasi potensi ancaman keamanan siber,” ucapnya. “Pemerintah kita sudah terlanjur kasih karpet merah ke Elon Musk sebelum regulasi yang kuat disiapkan. Ini membahayakan kedaulatan digital dan keamanan negara. Saya minta agar regulasi tentang layanan ini diatur, harus adil, dan konsisten,” kata Evita.