Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta menilai, kasus-kasus yang beruntun menimpa sejumlah petinggi kepolisian yang sedang diproses hukum, karena diduga menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan, merupakan momen yang pas untuk melakukan reformasi di tubuh Polri.
Walaupun ada sejumlah oknum petinggi Polri tertangkap dan diproses secara hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri menurun tajam, Sudirta memandang dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit dan Presiden Joko Widodo, masih cukup tinggi.
“Pada pundak Kapolri Listyo Sigit dan Presiden Joko Widodo lah masyarakat mengharapkan pembenahan Polri, yang oknum-oknumnya menyalahgunakan kewenangan dan jabatan untuk kepentingan pribadi,” kata Wayan Sudirta di Jakarta, Rabu (19/10).
Baca: Maeda Soroti Penanganan Polisi di Stadion Kanjuruhan
Wayan Sudirta mengatakan, pada tahun 2019, Komisi III DPR RI telah memberikan berbagai temuan tentang Polri, antara lain kurangnya profesionalisme dan akuntabilitas yang sering melanggar ketentuan. Kemudian kurangnya sinergisitas penanganan perkara, lemahnya manajemen dan pengawasan penanganan perkara, seperti perkara yang dipetieskan, mengalami penundaan, dan kriminalisasi.
Citra Polri juga dinilai represif dan rentan pelanggaran HAM, tingginya pengaduan terkait penyalahgunaan kewenangan dan ‘’backing’’ kegiatan ilegal, maraknya pungutan liar, keterlibatan dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, serta kurang terukurnya pelaksanaan dan kebijakan sistem reformasi birokrasi.
Selanjutnya kurun waktu 2019-2022, temuan tersebut masih terjadi, seperti gaya hidup mewah anggota Polri dan keluarganya, komunikasi publik yang cenderung memihak dan kurang obyektif, dan kurang independen.
‘’Karena nyatanya tingkat kepercayaan masyarakat pada Presiden dan Kapolri masih cukup signifikan, pada pemimpin seperti beliau inilah masyarakat mengharapkan untuk melakukan kepemimpinan yang efektif dalam kerangka mereformasi kepolisian,’’ ujar Sudirta.
Sudirta menegaskan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri yang pernah pada angka 71,6% pada April 2022 merosot ke 54% pada Agustus 2022. Tahun 2021 bulan November bahkan pernah 80,2%.
Menurut Sudirta, reformasi lanjutan Polri sangat perlu dilakukan dan momennya sangat tepat saat ini, ketika dukungan masyarakat yang menyorot kepolisian sangatlah kuat. Munculnya ekses yang meledak dalam beberapa kasus oknum petinggi Polri tidak lain karena diskresi kepolisian sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf I dan pasal 18 ayat (1) UU Polri, dalam praktiknya berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan atau tidak sesuai prosedur, sehingga kontradiktif dengan asas keadilan dan kepastian hukum.
Sudirta yang selama duduk di Senayan, baik saat 10 tahun di DPD RI dan DPR RI, menegaskan cukup sering menerima aspirasi konstituen dan masyarakat yang mengeluhkan perilaku oknum-oknum polisi, yang hidupnya mewah, yang mempermainkan kasus, sampai diduga memanfaatkan kasus untuk memperoleh imbalan uang.
Luasnya kewenangan dan peran yang diberikan ke Polri, di antaranya memang ada ekses, seperti penyalahgunaan kewenangan yang angkanya ternyata cukup luas, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat atas integritas Polri secara umum.
‘’Namun, apapun ekses yang ada, sebuah bangsa dengan ratusan juta penduduk, tak bisa dibayangkan kalau sehari tanpa polisi, pastilah juga masyarakat tidak tenang dan tenteram, karena kriminalitas nyatanya masih tinggi. Karenanya, sekalipun kekecewaan dan kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun, di pundak Kapolri Jenderal Listyo Sigit dan jajarannya lah, serta di bawah arahan tegas Presiden Joko Widodo lah, diharapkan pembenahan Polri ini dilakukan,” tuturnya.
“Kita bersama masyarakat mendukung beliau-beliau ini melakukan pembenahan dan reformasi serius di tubuh Polri,” imbuh Sudirta, sembari menunjuk ‘’Grand Strategy Polri 2005-2025’’ yang sasarannya membangun kepercayaan masyarakat, membangun kerjasama dan mewujudkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas dan pelayanan publik.
Sebagai Anggota Komisi III DPR RI, Sudirta menilai sebagai lembaga, kinerja Kepolisian cukup banyak melakukan hal-hal yang positif untuk masyarakat. Dan kinerja Polri itu dicapai dalam kondisi adanya oknum-oknum, termasuk jenderal berbintang, menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan untuk hal yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya, yang kini terungkap dan diproses secara hukum.
Baca: Henry Minta Polisi Tindak Tegas Kelompok Pelanggar Hukum
‘’Adanya proses hukum terhadap petinggi Polri, menunjukkan bahwa masih ada kepemimpinan yang efektif untuk menindak penyalahgunaan kewenangan oleh petinggi Polri, dan bayangkan kalau tidak ada lagi kepemimpinan seperti Kapolri dan Presiden, belum tentu tindakan oknum-oknum Polri yang keliru itu terungkap dan diproses secara hukum,’’ imbuh Sudirta sembari menunjuk pasal 30 ayat (4) UUD NRI, yang mengatur bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta melakukan penegakan hukum.
Apakah perlu revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian? Menjawab pertanyaan ini, Sudirta menegaskan, masih menghimpun masukan-masukan dari masyarakat.
Tapi, menurut Sudirta rasanya sampai saat ini belum perlu revisi atas UU tersebut. Yang ada di depan mata adalah mereformasi Polri dengan dukungan pengawalan masyarakat dalam momen yang tepat ini.
“ Karena nyatanya, sudah pernah ada reformasi berupa perubahan paradigma sistem ketatanegaraan yang memisahkan Polri dan TNI, dimulai dari lahirnya TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 VII/MPR/200, yang dikeluarkan pada 18 Agustus 2000, tetapi ternyata hasilnya belum maksimal,’’ katanya.