Yogyakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan menegaskan, revisi Undang-Undang Kitab Hukum Acara Perdata (UU KUHAP) harus pro kepada pencari keadilan, bukan pro kepada negara, baik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) atau pemerintah daerah (pemda).
Sebab, negara tidak selamanya negara itu benar dan seringkali negara menjadi pihak termohon dalam kasus perdata.
“Menurut saya, UU KUHAP ini harus pro kepada pencari keadilan. Bukan pro kepada negara. Karena banyak kasus termohonnya itu negara. Kan tidak selamanya negara benar. Ya kalau negara ini benar tidak akan ada korupsi,” tegas Trimedya dalam Kunjungan Spesifik Komisi III DPR RI dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait penyerapan masukan RUU KUHAP, di Kantor Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis (8/9).
Baca: Jokowi: Suntikan BLT BBM untuk Jaga Daya Beli Masyarakat
Andaikan pihak negara menang dalam kasus perdata, maka menurut Trimedya, kemenangan tersebut hanya ada di atas kertas saja karena tidak bisa dieksekusi di lapangan.
Karena itu, ia menilai persoalan eksekusi oleh kepolisian terlalu sulit jika harus diatur dalam peraturan pelaksana UU secara rigid. Kalau pun harus diselipkan dalam RUU yang terdiri dari 358 pasal dan 14 bab tersebut, maka harus dipertegas maksimal berapa lama pelaksanaan ekseksui tersebut dilakukan pasca putusan pengadilan tercapai.
“Nah itu harus diterjemahkan oleh pihak pengadilan. Apalagi kalau misalnya kasus tanah itu kan berkaitan dengan adu massa. Kepolisian tentu kewalahan. Nah ini seperti apa yang harus kita lakukan di dalam revisi UU tersebut. Sehingga putusan perdata ini tidak macan kertas. terutama orang-orang pencari keadilan itu hak-hak nya terpenuhi,” jelas politisi PDI-Perjuangan tersebut.
Baca: Trimedya Minta Kapolri Pikirkan Penahanan Putri Candrawathi
Diketahui, Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad Nomor 23 dan berlaku pada Januari 1848. Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku.
Hukum Acara Perdata ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini.
Sehingga tidak dapat menampung berbagai perkembangan hukum. Perkembangan masyarakat yang sangat cepat dan pengaruh globalisasi, menuntut adanya Hukum Acara Perdata yang dapat mengatasi persengketaan di bidang perdata dengan cara yang efektif dan efisien sesuai dengan asas sederhana, mudah, dan biaya ringan.