Surabaya, Gesuri.id - Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, Sri Untari Bisowarno mengatakan, kurang maksimalnya penurunan stunting dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Mulai dari kesulitan ekonomi, hingga kultur masyarakat di suatu daerah.
Baca: Bupati Landak Sosialisasi Penurunan Stunting di Ambarang
Misalnya, budaya menikahkan anak di usia dini yang masih kerap terjadi. Padahal di usia tersebut, kondisi emosional anak masih belum stabil. Jika terjadi kehamilan, juga lebih rentan mengalami anemia dan preeklamsia yang memengaruhi kondisi perkembangan janin, dan berisiko mengalami masalah tumbuh kembang saat lahir, seperti stunting.
"Kultur yang terbangun di tempat stunting yang masih tinggi itu adalah kultur yang sifatnya subordinatnya tinggi, sehingga menjadikan banyak masyarakat masih sangat jauh tertinggal. Dimulai dari pernikahan dini, usia 13 tahun sudah dinikahkan, ini ovarium dan rahimnya itu belum matang,” ujarnya.
Untuk itu, tambah Untari, perlu adanya perhatian penuh dari seluruh pihak dalam mengatasi hal tersebut. Ia pun meminta tiap pemerintah daerah melakukan monitoring, mulai dari tingkat RW untuk memastikan kesehatan tiap warganya.
Upaya perbaikan gizi juga harus terus dilakukan dan dimulai dari tahap pencegahan, hingga penanganannya.
Baca: Maria Lestari Berjuang Masyarakatkan Gemar Makan Ikan
“Negara memberikan perhatian penuh pada stunting ini dengan tujuan untuk membuatnya menghilang, karena setiap warga ini kan berhak untuk sembuh, dan kesehatan itu juga tanggung jawab negara,” ujar anggota Komisi E itu.
jatim-miliki-prevalensi-stunting-tertinggi-di-indonesia“Bagaimana kesehatan calon ayah dan ibu? Ini yang penting dan menjadi perhatian bagi pemerintah-pemerintah daerah. Keluarga-keluarga stunting ini dicari, dibantu melalui makanan, susu, makanan tambahan, yang semuanya itu berimplikasi kepada perbaikan gizi yang menyebabkan anak-anak ini menjadi lebih baik kesehatannya,” imbuhnya.