Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI Wayan Sudirta memberikan tanggapan atas berbagai misinformasi di masyarakat tentang pasal perzinahan di KUHP yang baru saja disahkan DPR RI.
Di masyarakat berkembang isu seakan dengan pasal 411 dan pasal 421 KUHP mengakibatkan sejumlah wisatawan membatalkan kunjungan ke Bali karena kuatir akan ancaman pidana dalam dua pasal KUHP tersebut.
Padahal, sejatinya menurut pejabat di Bali, tidak ada agen perjalanan membatalkan liburan ke Bali, seperti santer diberitakan.
Baca: Krisantus: KUHP Baru, Kedaulatan & Merdeka Secara Hukum
''Sebagai anggota DPR periode 2019-2024 telah melihat berbagai pertimbangan maupun perdebatan terkait hal ini,'' katanya dalam keterangan tertulis yang detikBali, Jumat (9/12).
Sudirta menjelaskan, pasal ini memang sempat menjadi perdebatan panjang karena dinilai sebagai kewenangan negara yang "melewati batas pribadi seseorang". Namun, ada sebagian fraksi yang juga menyampaikan aspirasi dari beberapa pihak yang menginginkan Pasal ini ada, dengan alasan untuk memberikan perlindungan kepada generasi muda dari pengaruh seks bebas maupun sesuai dengan norma agama dan nilai adat.
Makna perzinaan dalam konteks dan nilai-nilai masyarakat Indonesia (bukan masyarakat kota besar saja), yang bersumber dari agama, adat-istiadat, dan tata norma lainnya. Hal ini juga sejalan dengan norma hukum pidana yang menggali dan menghormati hukum yang hidup dalam masyarakat.
''Pasal ini merupakan penghormatan kepada lembaga perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang. Para perumus sepakat untuk menjadikan pasal ini tetap diperlukan, namun harus diatur secara sangat ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan. Dirumuskan sebagai delik aduan dan pengaduan dibatasi hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak (suami/istri/orang tua/anak). Jadi tidak sembarangan dapat diberlakukan atau digunakan oleh aparat penegak hukum maupun pihak-pihak lain,'' kata Sudirta.
Selain itu, pasal ini juga memberi penegasan adanya mekanisme hukum, agar tidak terjadi persekusi oleh masyarakat yang selama ini sering terjadi. Pasal ini merupakan representasi dari beberapa nilai dalam masyarakat yang melihat perbuatan ini sebagai hal melawan hukum atau kejahatan terhadap lembaga perkawinan maupun kejahatan materiil yang dapat merugikan pihak lain maupun masyarakat secara umum.
Hal di atas kata Sudirta adalah pendapat dari berbagai Fraksi, para ahli, dan Pemerintah. Perdebatan panjang terjadi dan dicari jalan tengahnya.
''Saya pribadi setelah mendapat penjelasan dan data tersebut, melihat bahwa pasal ini terjadi sebagai jalan tengah dari seluruh kepentingan para pihak yang menginginkan hal yang berbeda-beda. Namun lebih dari itu, pasal ini perlu ada sebagai harmonisasi terhadap UU Perkawinan (tujuan dan filosofi lembaga perkawinan) dan norma lain yang hidup dalam tata kehidupan bangsa Indonesia,'' kata Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
Sudirta meminta masyarakat agar secara bijaksana melihat berbagai fenomena permasalahan di masyarakat seperti persekusi (pengarakan oleh masyarakat untuk menimbulkan malu), kawin kontrak yang sering merugikan WNI, dan fenomena lain yang dapat merusak keharmonisan kehidupan bangsa Indonesia. Namun pengaturannya harus dilakukan secara ketat dan terbatas, mengingat dalam hal ini Negara masuk dalam ruang privat sehingga membutuhkan aturan yang jelas dan ketat.
"Adapun jika adat istiadat atau norma adat dari daerah tertentu mengatur berbeda, tentu dapat mengesampingkan pasal tersebut secara restoratif, yang dimungkinkan dalam KUHP. Namun tetap dilakukan dengan mekanisme yang sesuai dengan tujuan dan filosofi negara Hukum,'' lanjut Sudirta.
Baca: Yasonna: KUHP Baru Berlaku Efektif 3 Tahun Pasca Diundangkan
Sudirta menegaskan, bahwa melihat perkembangan dari masyarakat di Indonesia maupun di dunia internasional yang heboh dan merasa takut akan pemberitaan mengenai pasal tersebut adalah wajar mengingat masyarakat belum sepenuhnya tersosialisasikan tentang pelaksanaan dan makna filosofi pasal tersebut.
''Kami dengan sangat terbuka akan menerima seluruh masukan dari masyarakat baik di dalam maupun luar negeri, mengingat KUHP baru akan berlaku pada 2025 dan terbuka pada seluruh kemungkinan seperti uji materi maupun perubahan UU. Masa transisi tersebut tentu akan menjadi kesempatan untuk melakukan sosialisasi dan pengujian oleh masyarakat maupun mekanisme hukum formil,'' imbuhnya.
Dalam hal ini, akibat belum maksimalnya sosialisasi, mengakibatkan Provinsi Bali tentu akan terdampak. Sudirta mengimbau kepada seluruh pihak dan media massa (baik nasional maupun internasional) untuk secara bijak dan seimbang memberikan informasi atau pemberitaan yang komprehensif kepada masyarakat.
"Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang justru merugikan semua pihak dan berkesan seperti ada kepentingan terselubung untuk mencoba mengalihkan tujuan pariwisata Bali sebagai salah satu destinasi wisata dunia dan merugikan masyarakat di Bali,'' pungkas Sudirta.