Jakarta, Gesuri.id - Ketua DPP Partai Perindo Bidang Hankam dan Siber Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati mengapresiasi Capres-Cawapres nomor urut 3, Ganjar-Mahfud, yang menekankan pentingnya cyber security.
Ia menyatakan permasalahan cyber security dan pencegahan kebocoran data memang menjadi concern di banyak negara.
Sebelumnya, Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Aryo Seno Bagaskoro menyatakan capres-cawapres nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD akan concern dalam meningkatkan cyber security dan pencegahan kebocoran data dalam debat ketiga Pilpres 2024.
Pasalnya, lanjut Nefo Handayani, persoalan seperti utilisasi artificial intelligence atau kerap dikenal dengan AI dan algoritma keamanan akan menjadi tantangan baru yang mendapatkan perhatian serius Ganjar-Mahfud.
Menurut politikus senior yang akrab disapa Nuning itu, banyak negara sedang menyusun kebijakan baru terkait defence shifting yang lebih mengarah pada prinsip efisiensi operasi militer dan interoperabilitas.
"Hal ini fundamental untuk menghadapi kompleksitas karakteristik ancaman terkini. Efisiensi operasi militer sangat dimungkinkan dengan mengadopsi teknologi terkini, sehingga capaian operasi lebih efektif dengan sumber daya sehemat mungkin," kata Nuning kepada wartawan, Rabu (3/1/2024).
Nuning yang juga merupakan pengamat militer ini mengaku teknologi terkini yang paling mendominasi defence shifting adalah unmanned system.
Di antaranya adalah Unmanned Aerial Vechile (UAV), Unmanned Surface Vechile (USV), dan Unmanned Sub-Surface Vechile (USSV). Caleg DPR RI Dapil Jawa Tengah VI dari Partai Perindo itu melanjutkan, seiring dengan perkembangan Internet of Things (IoT), prioritas berikutnya adalah memperkuat pertahanan siber (cyber defence).
Apalagi saat ini, peretasan ke infrastruktur kritis, pencurian data strategis, spionase, propaganda di media sosial, terorisme dan berbagai ancaman siber lainnya sudah berlangsung di berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, banyak negara tengah merumuskan strategi untuk menghadapi ancaman siber.
"Kedua macam teknologi tersebut mendorong terjadinya Revolutionary in Military Affairs (RMA) gelombang kedua dengan fokus menghadapi ancaman Hybrid Warfare," ujarnya.
Nuning pun menjelaskan, karakteristik dan ciri utama dari Hybrid Warfare adalah kombinasi strategi perang konvensional dan non-konvensional.
Termasuk di antaranya serangan siber, tekanan ekonomi, tekanan diplomatik, penggunaan proksi non-state actor, propaganda di media sosial hingga pemberontakan yang menyebabkan adanya kudeta terhadap suatu pemerintahan yang berdaulat.
"Maraknya perang kognitif dan perang persepsi juga membutuhkan penanganan dengan metode yang tepat, agar tak menyebabkan disintegrasi bangsa," tuturnya.
Tak kalah penting, Nuning melanjutkan, kondisi di Indonesia yang belum ada UU Perlindungan Data Pribadi, sehingga tidak ada upaya memaksa dari negara kepada penyelenggara sistem elekntronik (PSE) untuk bisa mengamankan data dan sistem yang mereka kelola dengan maksimal atau dengan standar tertentu.
"Akibatnya banyak terjadi kebocoran data, namun tidak ada yang bertanggung-jawab, semua merasa menjadi korban. Padahal soal ancaman peretasan ini sudah diketahui luas, seharusnya PSE melakukan pengamanan maksimal. Misalnya dengan menggunakan enkripsi/penyandian untuk data pribadi masyarakat. Minimal melakukan pengamanan maksimal demi nama baik lembaga atau perusahaan," tandasnya.