Jakarta, Gesuri.id - Komitmen Ganjar untuk kembali menghidupkan poros maritim mendapat apresiasi tinggi dari mantan Kepala Staf TNI AL (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh.
Purnawirawan jenderal bintang 4 itu memberi Ganjar nilai 9 saat debat dengan tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geo politik tersebut.
"Nilainya 9 plus lah. Pak Ganjar menguasai materi, penyampaiannya terstruktur, tidak emosi,” kata Bernard, Senin (8/1/2024).
Baca: Mengulik Gaya Kepemimpinan Transformasional Ganjar Pranowo
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan total 16.771 pulu, dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, mencapai 99.083 km. Karenanya, Bernard berharap, Ganjar mampu membangkitkan Indonesia menjadi poros maritim dunia.
"Selama empat tahun terakhir gaung poros maritim dunia yang dahulu dicetuskan Presiden Jokowi nyaris tidak terdengar lagi. Ketika melihat sosok Pak Ganjar, harapan itu kembali tumbuh," kata Bernard yang menjabat KSAL dari 2002-2005.
Selain itu, mengapresiasi komitmen Ganjar untuk mengoptimalkan industri dalam negeri guna memenuhi alat utama sistem senjata (alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurut Bernard, dengan menggunakan alutsista produksi dalam negeri maka nilai penangkal atau detterence alutsista tersebut absolut.
"Yang paling menarik dari Ganjar adalah komitmen pengembangan laut dan penakanan alutsista produk dalam negeri. Kalau beli dari luar (negeri), begitu kita diembargo langsung nol nilainya (detterence). Selain itu uang kita juga tidak akan lari ke negara lain," lanjutnya.
Misalnya pembelian dua kapal jenis Landing Platform Dock (LPD) dari Korea Selatan disertai klausul Transfer of Technology (ToT) sehingga PT PAL mampu memproduksi secara mandiri. Itu, kata dia, tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, Angkatan Laut Filipina sudah membeli kapal itu dua unit.
Di samping itu, konserp Ganjar soal pengadaan alutsista yang bersifat bottom up, juga sangat bagus. Sebelum pengadaan alutsista harus diketahui ancaman apa yang akan dihadapi, dengan mendengar masukan dari tiga matra TNI.
"Kita harus menilai, kira-kira ancaman apa yang akan kita hadapi untuk menjadi dasar dalam menyusun sistem pertahanan negara. Kemudian disusun strategi, baru diterbitkan policy," jelas prajurit kelahiran Tobelo, Maluku Utara itu.
Baca: Ganjar Pranowo Berpeluang Dapatkan Trah Gelar Wahyu Mataram
Selanjutnya, panglima TNI beserta tiga kepala staf angkatan menyusun rencana kampanye, rencana kontijensi dan rencana operasi dan terakhir rencana kebutuhan. Kemudian dihitung alutsista yang dibutuhkan sesuai dengan rencana strategis (renstra).
“Renstra itu tidak bisa panjang, hanya lima tahun sekali. Kecuali soal ketersediaan anggaran. Renstra 2014-2019 sudah bagus, kita sudah bisa produksi satu kapal selam di PT PAL. Tapi begitu masuk 2019-2024 semuanya hilang, tidak diteruskan," ujarnya.
Bernard menilai, penyusunan renstra pada lima tahun belakangan berantakan dan ceroboh. Sebab, masih menggunakan pola top down.
"Perencanaan lima tahun belakangan berantakan, nggak pakai renstra. Kita sudah berkali-kali top down, mulai (pengadaan) 39 kapal perang eks Jerman Timur pada periode 90-an. Kemudian ada enam frigat dari Belanda, lalu tiga frigat dari Inggris. Itu semua top down, dan hancur semua," paparnya.