Jakarta, Gesuri.id - Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan sikap atas pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal presiden boleh kampanye dan memihak.
Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah meminta Jokowi mencabut semua pernyataannya itu.
Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah memandang penting untuk menyampaikan sikap sebab memiliki peran dan tanggung jawab keumatan serta kebangsaan untuk menjaga nalar demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa.
BaCa: Ternyata Ini Zodiak Ganjar Pranowo, Berikut Karakternya
Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah menyatakan tak ingin demokrasi diseret sesuka hati elite politik berdasarkan keinginan dan kepentingannya masing-masing. Bagi Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah, pernyataan Jokowi itu tidak bisa dilihat hanya dari kacamata normatif tetapi juga dari sudut pandang filosofis, etis dan teknis.
"Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak," dalam keterangan tertulis yang ditandatangani oleh Ketua Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah, Trisno Raharjo, seperti dikutip, Minggu (28/1).
Muhammadiyah juga meminta Jokowi menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjungjung tinggi etika dalam bernegara. Jokowi diminta menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi memicu fragmentasi sosial.
"Meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitifitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu," lanjut keterangan Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah.
BaCa: Mengulik Gaya Kepemimpinan Transformasional Ganjar Pranowo
Berikut pernyataan sikap Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah soal pernyataan Jokowi:
1. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak.
2. Meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara. Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.
3. Meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitifitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.
4. Menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, utamanya terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu kontestan tertentu.
5. Meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi memutus perselisihan hasil Pemilu. Sikap ini penting dilakukan oleh MK agar putusannya kelak yang bukan sekedar mengkalkulasi suara (karena MK bukan Mahkamah Kalkulator) tetapi lebih jauh dari itu untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu telah berlangsung dengan segala kesuciannya. Tidak dinodai oleh pemburu kekuasaan yang menghalalkan segala cara.
6. Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, dan utamanya penyelenggara negara. Pengawasan semesta ini diperlukan untuk memastikan Pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas agar diperoleh pimpinan yang legitimated dan berintegritas serta memastikan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara oleh penyelenggara negara.