Jakarta, Gesuri.id - Kinerja lembaga penyelenggara pemilu yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) jadi sorotan dalam proses sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak yang bersuara keras di sidang MK adalah Tim Hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Tim hukum Ganjar-Mahfud melalui ketuanya yaitu Todung Mulya Lubis menyindir Bawaslu tak willing dan mungkin memang tidak mau melakukan pengawasan yang efektif.
Pengamat komunikasi politik M. Jamiluddin Ritonga menilai omongan Todung soal Bawaslu tampak ada benarnya. Dia menyinggung maraknya dugaan kecurangan di Pilpres dan Pileg 2024 karena dinilainya lemahnya pengawasan Bawaslu dari pusat hingga tingkat kabupetan/kota.
"Di lapangan, suara serangan fajar bukan lagi sayup terdengar. Perilaku money politic seolah bukan lagi aib. Hal itu menjadi perbincangan peserta pemilu dan pihak pemilih secara bebas," kata Jamil, Kamis (4/4/2024).
Dia menyebut serangan fajar hingga money politic seolah tak didengar Bawaslu. Padahal, menurut dia, orang awam yang ada di lapangan pada umumnya mengetahui hal itu. "Banyaknya sengketa pileg dan pilpres juga menjadi indikasi lemahnya kinerja Bawaslu dalam pengawasan," lanjut Jamil.
Jamil menilai Bawaslu terkesan pasif terhadap berbagai keluhan peserta pileg dan pilpres baik saat kampanye, pencoblosan, maupun paca pencoblosan
"Padahal, kehadiran Bawaslu seharusnya akan membuat nyaman semua peserta pemilu. Bawaslu dan jajarannya diharapkan netral dalam mengawasi semua peserta pemilu," jelas eks Dekan FIKOM Institut Ilmu Sosia dan Ilmu Politik (IISIP) tersebut.
Menurut dia, kalau Bawaslu bisa melakukan pengawasan sesuai tugas dan fungsinya, maka setiap parpol peserta pemilu tidak perlu menyediakan saksi di setiap TPS. "Sebab pengadaan saksi sungguh memberatkan partai politik," tutur Jamil.
Dia menyebut untuk mengamankan suara, setiap partai harus menyiapkan 823.220 saksi, sesuai jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).
"Kalau setiap saksi dibayar Rp 300.000, maka setiap partai harus mengeluarkan dana saksi sebesar Rp 249.966.000.000," ujar Jamil.
"Anggaran itu belum termasuk untuk saksi saat rekapitulasi di kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan pusat," jelas Jamil.
Dengan kondisi itu, parpol harus mengeluarkan dana yang cukup besar hanya karena fungsi pengawasan Bawaslu sangat lemah.
"Jadi, keberadaan Bawaslu harus ditinjau ulang. Ke depan Bawaslu harus dapat melakukan pengawasan lebih efisien dan efektif," tutur Jamil.
Menurut dia, jika Bawaslu masih tak mampu jalankan tugasnya secara optimal maka sebaiknya dibubarkan.
"Kalau Bawaslu tidak mampu melakukan fungsinya dengan optimal, maka lembaga itu sebaiknya dibubarkan saja," kata Jamil.
"Sebab, Bawaslu dengan alokasi anggaran yang besar namun yak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya," ujarnya.