Jakarta, Gesuri.id - Presiden Joko Widodo mengakui bahwa pihak yang kalah dalam pemilu serentak 2019 pasti tidak puas, namun ada cara-cara yang sesuai konstitusi untuk menyampaikan ketidakpuasan tersebut.
"Kalau tidak puas, yang namanya kalah ya mesti tidak puas. Tidak ada yang kalah itu puas, tidak ada. Kalah itu pasti gak puas, kalau ada kecurangan, laporkan ke Bawaslu. Kalau yang lebih besar, sengketa, sampaikan ke MK (Mahkamah Konstitusi), ini kan mekanisme menurut konstitusi," kata Presiden Joko Widodo seusai menghadiri buka puasa bersama Partai Golkar di Jakarta, Minggu (19/5).
Baca: Jelang 22 Mei, Benteng Kekuatan Rakyat Ciptakan Kedamaian
Hal tersebut ia sampaikan terkait dengan merebaknya isu gerakan massa yang disebut "people power" jelang pengumuman hasil Pemilihan Presiden (pilpres) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei 2019.
Gerakan itu menyebut akan mendatangkan massa dari berbagai daerah untuk mengepung kantor KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Mekanisme itu sudah disepakati bersama-sama di DPR, semua fraksi ada semua, semua partai ada, jangan aneh-aneh lah," tambah Presiden.
Dari situs pemilu2019.kpu.go.id, Minggu (19/5), yang sudah masuk berasal dari 727.652 TPS (89,46 persen dari total 813.350 TPS pada Pemilu 2019 menunjukkan pasangan nomor urut 01 yaitu Joko Widodo dan Ma'ruf Amin mendapatkan 76.429.387 suara (55,76 persen) sedangkan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subinato dan Sandiaga Uno memperoleh 60.641.127 suara (44,24 persen)
Artinya, Jokowi-Ma'ruf unggul 15.788.260 suara dari Prabowo-Sandi.
Presiden mengaku tidak memantau real count KPU. "Ndak (memantau), tahu-tahu nanti ditetapkan, kan sudah jelas," ungkap Presiden sambil tertawa.
Presiden juga menilai bahwa hanya KPU lah yang berhak menentukan hasil pemilu 2019 nanti.
"Kita ini sudah menyelenggarakan pemilu bukan sekali dua kali kan? Dan prosesnya itu sudah jelas, 17 April yang lalu rakyat sudah berkehendak, sudah memutuskan, ya kan setelah itu ada proses, proses perhitungan, prosesnya itu semua diikuti karena semua proses demokrasi seperti itu kalau sudah dihitung oleh KPU, yang menang sudah ditetapkan ya itulah keputusan dari penyelenggara pemilu yaitu KPU," tegas Presiden.
Ia pun meminta agar semua pihak mengikuti mekanisme konstitusional tersebut.
"Harusnya mekanisme konstitusional itu yang diikuti, ini kita membuat sebuah fondasi dalam kita berdemokrasi harus diikuti," tegas Presiden.
Terkait sejumlah teroris yang diamankan oleh Densus 88 dan diketahui mereka ingin melakukan serangan ke KPU pada 22 Mei 2019, Presiden menilai hal itu merupakan tugas pihak kepolisian.
"Ya namanya teroris ya ditangkap, masa dibiarkan, kan dalam keamanan negara kan? Tapi itu urusan polisi dan TNI lah," tambah Presiden.
Sebelumnya, Densus 88 Anti-Teror Polri menangkap jaringan teroris dari Endang alias Abu Rafi alias Pak Jenggot di Cibinong, Bogor, berencana melakukan aksi teror di KPU pada 22 Mei 2019. Mereka rencananya meledakkan enam bom di gedung KPU dan tergolong memiliki daya ledak tinggi.
Sasaran pertama adalah toghut, artinya mereka akan menyasar aparat kepolisian yang sedang melaksanakan tugas. Sasaran kedua, seperti juga JAD Lampung, JAD Bekasi, maupun JAD Jawa Tengah, mereka ingin menyusupi kerumunan massa 22 Mei 2019 yang akan datang di depan KPU.
Baca: Presiden Jokowi Beri Bocoran Kriteria Khusus Ketua MPR
Total pihak kepolisian sudah mengamankan 68 orang terduga teroris sepanjang 2019, termasuk 29 tersangka yang ditangkap selama bulan Mei 2019 ada 18 tertangkap di Jakarta, Bekasi, Karawang, Tegal, Nganjuk, dan Bitung. Sementara itu, 11 tersangka lain ditangkap di Jakarta, Grobogan, Sukoharjo, Sragen, Kudus, Jepara, Semarang, dan Madiun. Dari 11 tersangka tersebut, sebanyak 9 terduga teroris merupakan anggota aktif JAD.
Polisi tetap memperhitungkan kemungkinan yang terjadi pada 22 Mei 2019 ditambah melakukan antisipasi keamanan termasuk dengan melakukan preventive strike (penangkapan).
Buka bersama Partai Golkar tersebut antara lain dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto, Menteri Sosial Agus Gumiwang, Menteri Koordinator bidang Maritim Luhut Binsar Panjaitan, Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno serta fungsionaris Golkar lainnya.