Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi instrumen pelembagaan partai politik.
"Wacana menurunkan presidential threshold menjadi 5—10 persen bahkan 0 persen tidak perlu diteruskan. Presidential threshold justru menjadi instrumen untuk semua parpol untuk melakukan pelembagaan atau institusionalisasi partai politik," kata Rifqi di Jakarta, Jumat (17/12).
Ia menyebutkan salah satu unsur pelembagaan partai adalah kemampuan parpol untuk meraih suara yang sebesar-besarnya, hasil dari kemampuan bekerja menyalurkan aspirasi rakyat.
Baca: Djarot Tegaskan PDI Perjuangan Bidik Kemenangan di Pemilu!
Selain itu, kata dia, kemampuan partai membangun komunikasi politik dengan masyarakat selama diberikan kepercayaan dari hasil pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebelumnya.
"Oleh karena itu, persentase presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR RI dan 25 persen suara nasional yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus dimaknai sebagai bagian memperkuat kelembagaan parpol itu sendiri," ujarnya.
Rifqi mengatakan bahwa parpol adalah episentrum dari demokrasi atau kedaulatan rakyat yang sudah dipilih sebagai asas dalam sistem politik yang dianut dalam konstitusi Indonesia.
Menurut politikus PDI Perjuangan itu, kalau semua parpol bisa mencalonkan pasangan calon presiden/wakil presiden, legitimasi pencalonan dalam konteks kedaulatan rakyat bisa dipertanyakan.
Baca: Rifqi Nilai E-Voting Belum Bisa Diterapkan di Pemilu 2024
"Itu (penurunan presidential threshold) membuat pencalonan seperti tidak ada penjaringan dalam konteks sistem kepartaian dan kepemiluan. Oleh karena itu, saya menolak wacana menurunkan presidential threshold menjadi 5—10 persen atau bahkan 0 persen," katanya.
Selain itu, menurut dia, kesepakatan antara parpol dan pemerintah untuk tidak merevisi UU Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada harus dihormati oleh semua pihak.
Norma-norma yang telah diatur dalam kedua UU tersebut, kata dia, dapat digunakan untuk menatap dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024