Jakarta, Gesuri.id - Pakar Politik dan Pemerintahan, Ryaas Rasyid mengatakan, hasil Pemilu 2024 layak ditolak dan digugat karena sarat kecurangan.
Menurut dia, kecurangan Pemilu 2024 terjadi secara kasat mata bahkan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) di berbagai tahapan pemilihan.
Ryaas menjelaskan, kecurangan terjadi bukan hanya saat pelaksanaan pemungutan suara, melainkan juga pada pelanggaran hukum pada aturan main pemilu, pelanggaran etika yang dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN) termasuk presiden dan para menteri, serta pelanggaran kebijakan oleh penyelenggara pemilu sendiri, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Itu sebabnya, lanjut Ryaas, dorongan hak angket yang disampaikan calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo yang didukung oleh capres nomor urut 1, Anies Baswedan merupakan langkah yang tepat.
"Itu satu ide yang baik, karena kecurangan yang terjadi secara TSM dan kasat mata ini tidak bisa didiamkan atau diabaikan begitu saja. Semua orang tahu ada kecurangan dan Ganjar mendorong hak angket untuk membuktikan benar tidaknya kecurangan itu, jadi harus ada hak angket," kata Ryaas saat diwawancara mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad pada acara “Speak Up” yang ditayangkan kanal YouTube, pada Minggu (25/2/2024).
Dia menjelaskan, Ganjar tak mungkin mendorong hak angket tanpa didukung partai pengusungnya, yang memiliki kursi di DPR saat ini, yakni PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Meskipun ada kendala pada pelaksanaan hak angket yang membutuhkan waktu panjang, Ryaas menilai, langkah tersebut sudah benar untuk menunjukkan keseriusan partai politik di DPR dalam mengkritisi hasil pemilu yang jelas-jelas sarat kecurangan.
"Ada yang bilang Hak Angket waktunya lama untuk
sampai pada kesimpulan belum lagi proses pemakzulannya. Ada yang bilang harus melalui Mahkamah Konstitusi segala macam. Apapun cara yang dipilih, semua itu menunjukkan kita semua sepakat ada kecurangan pemilu dan kecurangan tidak bisa didiamkan gitu loh," ujar Ryaas Rasyid.
Dia menjelaskan, hak angket maupun gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi dasar pengakuan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024, sarat kecurangan dan tentu hasilnya tidak bisa dipertanggungjawabkan atau diterima.
"Jadi keputusan yang dihasilkan dari Hak Angket maupun gugatan kecurangan pemilu di MK hanya ada 2, yakni Pemilu 2024 dinyatakan batal seluruhnya, atau dinyatakan batal bagi yang diuntungkan oleh kecurangan tersebut," ungkap Ryaas.
Menurut dia, proses kecurangan pemilu melalui hak angket di DPR dan peoses hukum di MK atau pengadilan harus berjalan secara simultan. Tujuannya untuk membuka kotak pandora siapa sebenarnya yang melakukan kecurangan tersebut sehingga legitimasi hasil pemilu dipertanyakan.
"Ini harus dilakukan agar jangan sampai sekali lagi terjadi pemilu dengan kecurangan yang didiamkan. Jangan sampai kita memiliki Presiden sebagai hasil dari pemilu yang curang, itu kan cacat," tutur Ryaas.
Dia menegaskan, kecurangan pemilu adalah tindakan kejahatan atau tindakan kriminal yang harus diproses secara hukum, dan hasil dari pemilu yang curang adalah pemimpin yang kehilangan legitimasi atau tidak memenuhi syarat untuk memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Pemilu yang curang bukan hanya pantas dipertanyakan, tetapi juga pantas digugat dan ditolak. Konsekuensi dari pemilu yang curang adalah pemimpin yang dihasilkan tidak punya basis moral secara politik etika, dan tidak punya legitimasi," ujar Ryaas.