Jakarta, Gesuri.id - DPP PDI Perjuangan menduga ada masalah besar yang sedang terjadi dibalik keputusan reshuffle kabinet, atas Yasonna Laoly dan Arifin Tasrif, di tak lebih dari 60-an hari jelang berakhirnya pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.
Hal itu diungkap oleh Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat, dalam konferensi pers di Gedung Kantor Pusat partai di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (19/8).
Secara prinsipil, PDI Perjuangan tak bisa menolak atau menyetujui keputusan presiden itu karena hak reshuffle kabinet adalah hak prerogatif seorang presiden. Namun, dari sisi penilaian terhadap sebuah kebijakan, PDI Perjuangan melihat sesuatu yang sangat mengkhawatirkan.
Pertama, Yasona direshuffle padahal kabinet tinggal bekerja kurang dua bulan lagi. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apa alasan sebenarnya reshuffle kedua menteri itu.
“(Apa) karena Pak Yasonna mungkin ditegur karena tidak meminta persetujuan kepada presiden atas pengesahan perpanjangan kepengurusan DPP Partai kemarin,” kata Djarot.
Sebagai latar belakang, PDI Perjuangan memang baru melaksanakan perpanjangan kepengurusan DPP PDI Perjuangan dari tahun 2020-2024, menjadi DPP PDI Perjuangan periode 2020-2025, dengan Megawati sebagai ketua umum dan Hasto Kristiyanto sebagai sekretaris jenderal.
Perpanjangan itu langsung diurus dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dan kabarnya Presiden Jokowi kaget karena ia tak dimintai tanggapan atas perubahan waktu kepengurusan itu.
Jika perpanjangan itu tak disahkan, maka PDI Perjuangan wajib melaksanakan kongres partai pada tahun 2024, saat Jokowi masih menjabat presiden. Sementara adalah praktik biasa di kalangan politik, unsur kekuasaan bisa mengatur jalannya kongres partai, hingga personil pengurus partai yang hendak ditunjuk.
Dengan pengesahan itu, PDI Perjuangan kini punya waktu hingga 2025 untuk melaksanakan kongres, lepas dari kemungkinan pengaruh pemerintahan Jokowi.
Kembali ke Djarot, pertanyaan kedua yang muncul adalah apakah penghentian Yasonna adalah karena hadir di deklarasi Edy Rahmayadi sebagai calon gubernur Sumatera Utara. Diketahui Rahmayadi akan bertarung melawan menantu Jokowi bernama Bobby Nasution, mantan kader PDI Perjuangan yang sudah jadi kutu loncat ke Gerindra.
“Kedua, apakah Pak Yasona diberhentikan karena sebagai kader partai beliau kemarin mengikuti acara deklarasi di Medan yaitu deklarasi untuk mencalonkan eddy rahmayadi,” katanya.
Tanda tanya ketiga adalah soal ketidakhadiran Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih periode 2024-2029 saat pelantikan menteri baru. Bagi PDI Perjuangan, kata Djarot, etika pemerintahan yang benar adalah seorang presiden tidak mengambil keputusan strategis di akhir masa jabatan, demi tak mewariskan beban masalah untuk pemerintahan berikutnya. Itu terjadi di era Pemerintahan Gus Dur, Megawati, lalu pemerintahan SBY.
“Kita juga mempertanyakan apakah reshuffle kabinet itu juga hasil dari Pak Jokowi dengan presiden terpilih yaitu Pak Prabowo? Karena kita lihat tadi Pak Prabowo tidak menghadiri acara pelantikan dan pengambilan sumpah ya, reshuffle tadi pagi saya melihat beliau tidak hadir,” urao Djarot.
Maka itulah pihaknya melihat reshuffle terakhir dimaksud bertujuan untuk kepentingan pribadi.
“Kami anggap bahwa ini merupakan suatu peristiwa politik dan menjadi even atau kesempatan dari Pak Jokowi untuk mengkonsolidir kekuasaannya, kekuatannya dalam rangka mengontrol atau mendesakkan orang-orangnya pada pemerintahan yang akan datang itu,” bebernya.
Ketua DPP PDI Perjuangan Rokhmin Dahuri juga menyatakan wajar jika publik menganggap ada “udang dibalik batu” dalam keputusan reshuffle kabinet. Ia ingatkan bahwa segala sesuatu kebijakan negara yang berbasis kepentingan pribadi seseorang, akan menghasilkan hal tak baik bagi bangsa maupun negara.
"Jadi sekali lagi kalau segala macem untuk kepentingan pribadi keluarga itu tidak baik untuk bangsa dan implikasinya akan sangat membebani presiden terpilih berikutnya,” kata Rokhmin.
“Kalau keputusan itu hanya untuk keluarga dan nepotisme dan politis, itu amat berbahaya bagi Indonesia,” pungkasnya.