Ikuti Kami

Sosok Mahfud MD, Nahdliyin Cendekiawan Hukum yang Jadi Cawapres Ganjar Pranowo

Mahfud lahir di sebuah desa kecil di Kecamatan Omben, Sampang Madura, pada 13 Mei 1957.

Sosok Mahfud MD, Nahdliyin Cendekiawan Hukum yang Jadi Cawapres Ganjar Pranowo
Cawapres Mahfud Md. (tangkapan layar youtube PDI Perjuangan)

Jakarta, Gesuri.id - Mahfud MD yang terlahir dengan nama lengkap Mohammad Mahfud Mahmodin merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan Siti Khadijah dan Mahmodin. 

Mahfud lahir di sebuah desa kecil di Kecamatan Omben, Sampang Madura, pada 13 Mei 1957. Ayahnya, Mahmodin, hanya seorang pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben, Sampang. Saat berusia dua bulan, keluarga Mahfud pindah ke Pamekasan, daerah asalnya. Di daerah itu, tepatnya di kecamatan Waru, Mahfud menghabiskan masa kecilnya.

Sebagai anak yang lahir dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), Mahfud kecil dihabiskan untuk belajar agama di surau dan madrasah diniyyah. Meski begitu, saat berusia 7 tahun, Mahfud masuk ke Sekolah Dasar Negeri. Sore harinya, barulah Mahfud belajar agama di madrasah ibtida’iyyah, sedangkan malam harinya, dia belajar agama di surau.

Beranjak remaja, Mahfud dikirim orangtuanya ke pesantren Somber Lagah yang ada di Desa Tengangser Laok. Saat itu dirinya masih kelas 5 SD, sekolah pun ia lanjutkan di pondok pesantren tersebut. 

Pondok Pesantren Somber Lagah adalah pondok pesantren salaf yang diasuh Kiai Mardhiyyan, seorang kiyai keluaran Pondok Pesantren Temporejo atau Temporan. Pondok pesantren itu sekarang diberi nama Pondok Pesantren al-Mardhiyyah, memakai nama pendirinya, Kiai Mardhiyyan, yang wafat pertengahan 1980-an.

Selepas Pendidikan dasar, orangtua Mahfud kemudian memasukkan anaknya itu ke Pendidikan Guru Agama Negeri di Pamekasan Madura. Di sinilah, Mahfud mulai menggunakan nama inisial MD di belakang Namanya. Ceritanya, di lembaga Pendidikan tersebut ada tiga anak yang Namanya sama, yaitu Mahfud. Untuk membedakannya, Mahfud anak dari Mahmodin menggunakan inisial MD di belakang Namanya. Siapa yang sangka, nama itu yang kini digunakannya dan dikenal banyak orang.

Usai tamat dari Pendidikan Guru Agama, Mahfud MD kemudian melanjutkan pendidikannya ke lembaga Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), yaitu sebuah sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama di Yogyakarta yang merekrut lulusan terbaik dari PGA dan Madrasah Tsanawiyah seluruh Indonesia. Usai tamat dari PHIN pada 1978, Mahfud MD kemudian melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), jurusan Hukum Tata Negara. Pada saat yang bersamaan, dia juga mengambil kuliah Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).

Baca: Ganjar Pranowo dengan Mahfud MD: Saling Melengkapi, Nasionalis-Religius, Naikkan Elektoral

Bukan perkara mudah, saat Mahfud muda mengambil dua jurusan di dua kampus berbeda dalam satu waktu, ayahnya sudah pensiun. Untuk membiayai kuliahnya, Mahfud sibuk menulis di berbagai surat kabar untuk mendapat honor. Dari honor itulah ia bisa membiayai kuliahnya, selain juga sibuk berburu beasiswa.

Meski begitu, Mahfud muda tidak lupa dengan kehidupan cinta. Di UII, dirinya bertemu dengan perempuan dambatan hatinya, Zaizatoen Nihajati atau Yatie, dan sama-sama aktif di pergerakan mahasiswa di HMI. Sejak 1979, keduanya mulai dekat dan akhirnya berpacaran. Hubungan keduanya bertahan lama, hingga pada 2 Oktober 1982, Mahfud dan Yatie resmi menikah di Semboro, Jember. Dari pernikahan itu, Mahfud dan Yatie dikaruniai tiga orang anak, antara lain Mohammad Ikhwan Zein, Vina Amalia, dan Royhan Akbar.

Lulus dari Fakultas Hukum pada 1983, Mahfud MD kemudian memilih mengajar sebagai dosen di almamaternya dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Saat itu ia melihat, hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik. Kekecewaannya terhadap hukum yang selalu dipermainkan politik, membuatnya tertarik untuk belajar ilmu politik.

Pendidikan S2 Mahfud akhirnya mengambil studi ilmu politik. Saat itulah dirinya bertemu dan punya kesempatan berdiskusi dengan tokoh-tokoh dan pemikir politik sekaligus dosen ternama. Sebut saja seperti Amien Rais, Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin, dan lainnya.

Mahfud pun kembali mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar dan dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan S3. Ia kembali mendalami ilmu hukum tata negara ketika mengambil program doktor di UGM. Kecemerlangan Mahfud bukan hanya sampai di situ, ia pun pernah dikirim ke Columbia University New York dan Northern Illinois University DeKalb, Amerika Serikat, untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan hukum selama satu tahun.

Ketertarikan Mahfud MD kepada dunia politik sudah muncul saat dirinya kecil. Mahfud remaja suka sekali menyaksikan iring-iringan massa kampanye pemilihan umum. Kecintaan pada dunia politik kemudian membuatnya malang melintang di berbagai organisasi kemahasiswaan. Di kalangan aktivis, Mahfud muda dikenal sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pilihannya pada HMI didorong oleh pemahamannya terhadap medan politik di UII. Sebab, saat itu untuk bisa menjadi pimpinan organisasi intrakampus harus berstempel aktivis HMI. 

Puncak karier Mahfud MD di bidang hukum terjadi saat dirinya dipercaya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 2008-2013 dan menjadi Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM di era Jokowi-Ma’ruf Amin.

Quote