Jakarta, Gesuri.id - DPD PDI Perjuangan Jatim menggelar webinar bertajuk “Kontekstualisasi Gagasan Bung Karno tentang Peran Perempuan di Era Digital”, Kamis (27/6).
Gelaran yang berlangsung secara daring tersebut mengupas tuntas relevansi pemikiran Bung Karno terhadap nasib perempuan sejak era kolonial hingga saat ini.
Narasumber yang hadir pun sangat kompeten, berasal dari berbagai kalangan, yakni dosen Ilmu Sosial FISIP Unair, Airlangga Pribadi, dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unair, Kandi Tomasoa, akademisi, pengamat militer dan pertahanan keamanan, Connie Rahakundini, dan anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari.
“Ini kelanjutan dari seminar tahun lalu tentang bedah buku berjudul Merahnya Ajaran Bung Karno dan dari situ ada pemikiran untuk membedah segmen pemikiran Bung Karno. Salah satunya peran perempuan membangun bangsa,” ujar Wakabid Ideologi dan Kaderisasi DPD Jatim, Daniel Rohi, saat membuka seminar.
BaCa: Ganjar Pranowo Tegaskan Tak Berniat Ikuti Pilkada
Menurut Daniel, pemaparan dari tiap narasumber mampu memberikan insight baru sekaligus pelecut perjuangan, menerapkan kebijakan dari dan untuk perempuan menjadi berdaya dan pembelajar.
“Dengan semua tantangan, maka perempuan harus menjadi pembelajar untuk menuju kehidupan yang semakin merdeka. Tiap narasumber ini memberikan insight yang luar biasa dan bisa menjadi tema untuk badiklat selanjutnya,” terangnya.
Membedah Pemikiran Bung Karno terhadap Nasib Perempuan
Bicara konsep peran perempuan, dosen Ilmu Sosial FISIP Unair, Airlangga Pribadi, menerangkan, kritik-kritik Bung Karno terhadap budaya patriarki sudah tercetus sejak era kolonial. Hal itu terbukti dari buku Sarinah yang terinspirasi dari kehidupan pengasuh sang proklamator.
Kala itu, ia melihat nasib para perempuan yang diperlakukan sebagai kelompok lemah. Hanya berkutat dengan urusan rumah tanpa akses kebebasan berpendapat untuk memilih hidupnya sendiri.
Padahal, peran perempuan sangat penting. Dalam berbagai kesempatan, pahlawan Indonesia itu selalu menekankan bahwa perempuan adalah agen perubahan, indikator majunya sebuah negara terletak pada kemajuan perempuan.
“Dalam konsepsi kebangsaan Bung Karno, manusia rakyat dan tanah air itu tidak bisa dipisahkan. Di era digital berpikir soekarnois adalah bagaimana kita terlibat untuk berpikir dari pekembangan tatanan ekonomi tanpa adanya eksploitasi manusia dan atas manusia,” tuturnya.
Hal itu juga masih terjadi saat ini. Di era digital, makin banyak kesalahpahaman pada konsep kodrat sehingga membebankan perempuan pada beban ganda, yakni bekerja dan mengurus rumah. Hal itu didukung dengan penggiringan opini dan informasi bias yang tersebar.
“Bung Karno mengutarakan bahwa seringkali istilah kodrat dilakukan oleh tatantan sosial untuk melakukan marginalisasi dan peminggiran tentang hak-hak perempuan. Jadi, kalangan feodalis kerap kali sampai di kesimpulan bahwa perempuan berada di kelompok lemah,” jelasnya.
Bung Karno, lanjut Airlangga, sejak dulu sudah memetakan penyelesaian terhadap persoalan ini. Pemikiran visionernya menekankan pentingnya negara hadir, melibatkan perempuan dalam membuat kebijakan, melihat persoalan dari kacamata perempuan, menjamin kesetaraan dan hak-hak mereka.
Misal, kebijakan pemberian cuti pada pekerja perempuan sebagai upaya penyelesaian beban ganda, hingga perhatian pada persoalan pekerja rumah tangga.
“Dalam konteks ini, cara atau perjuangan untuk menyelesaikan beban ganda adalah bahwa semua harus dibangun secara setara dan domestik adalah kolektif. Tugas negara untuk memberi ruang tentang urusan keluarga tidak hannya dibebankan pada perempuan,” terangnya.
Hal serupa disampaikan dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unair, Kandi Tomasoa. Ia menyebut persoalan perempuan berada pada spektrum yang luas. Entah seberapa majunya zaman, tetap akan ada diskriminasi terhadap perempuan.
Platform digital seringkali meneguhkan kekerasan baik lisan maupun visual, dan melumrahkan praktik patriarki. Contohnya mesin pencarian google yang algoritmanya menjuruskan perempuan hanya pada persoalan reproduksi.
“Yang sering kita lupa bahwa sebagai sebuah sistem itu seingkali menjadi bias, kadang menindas. Kalau kita tulis “apakah wanita”, maka yang muncul adalah tentang persoalan yang tidak jauh dari masalah domestik dan reproduksi. Ini menunjukan bahwa teknologi itu tidak netral. Dan jika tidak hati-hati maka akan membentuk perilaku kita yang justru menempatkan kita ke posisi patriarki,” ucapnya.
BaCa: Ganjar: Perlu Ada Ruang 'Check and Balances' di Pemerintahan
Untuk itu, kata Kandi, penting bagi perempuan menjadi pembelajar dan berdaya. Pergunakan platform digital sebagai alat perjuangan, manfaatkan keterkaitan dan koneksifitas untuk menyuarakan persoalan perempuan, memperjuangkan kesejahteraan, merdeka dari corak feodalis.
“Perempuan harus mampu mengidentifikasi dirinya sendiri, apa yang sebetulnya dia butuhkan, kultur dimana dia hidup, apakah itu menghalangi permpuan untuk merdeka. Ini adalah proyek serius. Kalau kita bicara soal old colonialisme. Bukan lagi soal permpuan berhadapan dengan laki-laki, tapi memikirkan bagaiamana kelompok agama, ras, dan suku memproduksi penindasan ke perempuan, dan kelompok temarginalkan lainnya,” ujarnya.
Seperti kutipan Bung Karno pada buku Sarinah yang berbunyi “Soal perempuan adalah soal masyarakat. Soal perempuan adalah sama tuanya dengan masyarakat, sama tuanya dengan kemanusiaan”, maka, lanjut Kandi, persoalan perempuan bukan cuma terkait persoalan rumah melainkan terhubung pada persoalan sosial, ekonomi hingga diskriminasi suatu negara.
“Kita harus perhatian pada persoalan yang mengancam bukan hanya permpuan, tapi juga kemanusiaan. Kita harus pikirkan apa yang harus kita lakukan untuk berjejaring dengan perempuan, dengan kelompok lainnya untuk perubahan sosial menuju lebih baik,” jelasnya.