Jakarta, Gesuri.id - Bung Karno menjadi orang pertama yang mempopulerkan istilah Vivere Pericoloso dalam pidato kenegaraan peringatan HUT 17 Agustus di tahun 1964. Sudah menjadi kebiasaan presiden pertama RI tersebut menggunakan istilah asing pada setiap pidatonya tersebut. Kali ini, dia mengambil istilah dari bahasa Italia, vivere (hidup) dan pericoloso (berbahaya). Istilah ini sebenarnya lebih tepat disebut dengan vivere pericolososamente
Di tahun yang sama pula, bangsa Indonesia sedang mengalami masa-masa genting atau berbahaya apalagi saat itu sedang terjadi konfrontasi dengan Malaysia yang kemudian melahirkan Ganyang Malaysia. Makanya tidak berlebihan bila kemudian Bung Karno memperkenalkan istilah tersebut dan menyebut tahun 1964 sebagai tahun penuh bahaya atau the years of living dangerously. Selain masalah konfrontasi, kondisi dunia di saat itu juga sedang dilanda masa masa subversif yang menghambat jalannya revolusi. Karena itulah penting bagi Bung Karno untuk mengobarkan semangat revolusi dalam pidatonya yang penuh berapi-api tersebut.
"Kita ini satu bangsa tempe, ataukah satu bangsa banteng? Kalau kita satu bangsa yang berjoang, kalau kita satu fighting nation, kalau kita satu bangsa banteng, dan bukan satu bangsa tempe, marilah kita berani nyrempet-nyrempet bahaya, berani ber-Vivere Pericoloso! Asal jangan kita Vivere Pericoloso kepada Tuhan! Hiduplah ber-Vivere Pericoloso di atas jalan yang dikehendaki oleh Tuhan dan diridhai oleh Tuhan," kutipan pidato Sukarno, Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri) pada 17 Agustus 1964.
Kondisi politik dalam negeri juga dilanda masalah yang cukup pelik. Friksi antar kelompok atau partai sangat kencang. Belum lagi masalah ekonomi yang juga tidak kalah ruwetnya. Tentu hal ini sangat mempengaruhi posisi Bung Karno sebagai presiden. Maka dengan penuh keberanian, Bung Karno berani berkata tidak kepada Amerika Serikat serta kedekatannya dengan Republik Sosialis Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Keberanian sikap Bung Karno inilah yang konon membuat Abang Sam marah besar. Negara adidaya itu pun sempat menggalang hubungan dengan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat untuk menyingkirkannya.
Tentu saja terjepit dengan keadaan itu, Bung Karno bangkit dan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk berani keluar dan melawan berbagai krisis multidimensi, mulai dari krisis politik, krisis ekonomi hingga krisis identitas, termasuk ancaman dari negara negara kolonialis yang kala itu mengepung Asia Tenggara. Bung Karno mengajak bangsa Indonesia untuk terus melakukan revolusi guna memperbaiki kondisi negara yang sedang terancam.
“Negara Indonesia dalam bahaya. Memang bahaya ini adalah satu fase, satu tingkat, dalam usaha kita mendirikan satu negara yang merdeka. Justru oleh karena proklamasi kemerdekaan kita adalah satu kejadian yang tidak konstitutionil, justru oleh karena tindakan kita memerdekakan Indonesia adalah satu tindakan yang revolusioner, maka tidak boleh tidak, Negara Indonesia harus melalui satu fase ‘dalam bahaya’. Tidakkah selalu saya sitirkan ucapan, bahwa tak pernah sesuatu kelas melepaskan kedudukannya yang berlebih dengan sukarela? – Revolusi bukanlah sekadar satu kejadian belaka, bukanlah sekadar satu ‘gebeurtenis’. Revolusi adalah satu proses. Puluhan tahun kadang-kadang, berjalan proses itu. – Pasang-naik dan pasang-surut akan kita alami berganti-ganti, pasang-naik pasang-surut itulah yang dinamakan iramanya revolusi. Tetapi gelora samudera tidak berhenti, gelora samudera berjalan terus!” kata Bung Karno dalam pidato yang penuh semangat itu.
Tentunya, sebagai syarat mutlak terjadinya revolusi ada tiga yaitu romantik, dinamik dan dialektik. Ketiga syarat ini haruslah bergemuruh di setiap hati rakyat Indonesia. Bukan hanya bergemuruh di dalam dada sang pemimpin, sebab Bung Karno beralasan bahwa tanpa kekuatan rakyat tidak mungkin mampu melawan kekuatan subversif yang sangat kencang di masa tersebut.
“Karena itu, maka kita harus memasukkan romantik, dinamik dan dialektik revolusi itu dalam dada kita semua. Kita pertumbuhkan, kita gerakkan, kita gemblengkan dalam dada kita semua, sampai ke puncak-puncaknya kemampuan kita, agar revolusi kita dan revolusi umat manusia dapat bergerak-terus, menghantam dan membangun terus, mendobrak segala rintangan yang direncanakan dan dipasangkan oleh pihak imperialis dan kolonialis.”
Namun yang menarik dari vivere pericoloso ini adalah bahwa Bung Karno tidak akan pernah melawan kekuatan Tuhan. Hal itu dia tegaskan dalam pidatonya di tahun 1962 di hadapan sejumlah ulama PBNU saat itu dengan mengatakan, “Saya paling tidak kuasa jika melawan kelompok masyarakat yang berdoa, mengetuk pintu langit memohon doa dari Sang Pencipta. Saya tidak berani Vivere Periscoloso terhadap Allah. Saya akhiri pidato ini, karena sudah berkumandang adzan sholat Jumat. Saya hanya takut kepada Allah!”