Tasikmalaya, Gesuri.id - Budayawan Sunda Anton Charliyan menyoroti fenomena banjir di awal tahun 2021 ini, yang terjadi di beberapa daerah di Nusantara, termasuk di Jakarta dan sebagian Jawa Barat.
Kader PDI Perjuangan itu mengungkapkan, banjir telah mendatangkan banyak kerugian bagi masyarakat. Apalagi masa pandemi COVID-19 ini, membuat datangnya banjir sebagai musibah yang memperparah penderitaan rakyat.
"Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Jadi penderitaan rakyat ini makin hari makin bertumpuk. Lalu dengan kondisi ini apakah kita akan tetap berpangku tangan saja? Tentu saja tidak!," ujar Anton, baru-baru ini.
Mantan Kapolda Jabar itu melanjutkan, kalau kita mau belajar dan bercermin dari sejarah masa lalu, kita akan menemukan bahwa para leluhur kita sudah mengantisipasi dan mencegah banjir di Tatar Pasundan.
Baca: Penyebab Banjir, Prasetyo Temukan Fakta yang Mengejutkan
Dan antisipasi banjir maupun bencana alam tersebut, sudah tertera dalam peninggalan Raja Pajajaran di Prasasti Batutulis Bogor.
"Prasasti yang sangat dikenal dalam buku-buku sejarah, tapi tidak pernah di kaji isinya dengan seksama. Bahkan terkadang kita semua melupakan isi Prasasti tersebut, yang sesungguhnya sangat luar biasa maknanya dan masih sangat relevan untuk bisa dilaksanakan pada masa kini," ujar Anton.
Anton pun mengungkapkan isi dari Prasasti tersebut.
"Semoga Selamat ini Tanda Peringatan Sang Prabu. Dinobatkan dengan nama Sribaduga Maharaja Ratu Aji di Pajajaran Sri sang ratu Dewata. Dialah yang membuat PARIT Pakuan. Dialah yang membuat Tanda Peingatan berupa :
- Gunung-gunungan,
- Membuat Jalan dari Batu/Undakan
- Membuat Hutan Kota/Hutan Lindung, pohon Samida
- Membuat Telaga Rena Mahawijaya. Sangkala 1533 M"
Demikian isi Prasasti Batutulis tersebut.
Dari isi prasasti tersebut, sambung Anton, terlihat jelas bahwa kalimat pertama diawali dengan tanda peringatan, berupa kata-kata "Semoga Selamat".
Adapun keterangan "yang sudah membuat parit" menunjukkan bahwa parit tersebut salah satu fungsinya adalah sebagai tempat penyaluran air bila terjadi hujan atau banjir, disamping berfungsi sebagai parit pertahanan perang.
Anton memperkirakan parit tersebut sangat lebar, dengan estimasi lebarnya minimal bisa mencapai 5 sanpai 10 meter.
" Bisa kita bayangkan bila di Jakarta atau di tiap-tiap kota besar punya Parit sebesar itu. Saya yakin banjir-banjir yang ada sekarang ini bisa diantisipasi dengan lebih cepat," ujar Anton.
Anton melanjutkan, keterangan berikut nya dalam prasasti, bahwa telah membuat gunung-gunungan ini punya berbagai penafsiran. Ada yang mengartikan sebagai penghijauan, ada pula yang mengartikan sebagai Bukit Buatan Pelindung dan Penahan Bencana.
Lalu, lanjut Anton makna dari "membuat jalan dari batu", bertujuan agar jalan tersebut bisa meresap atau menyerap air hujan sehingga tidak tergenang.
"Yang berikutnya, membuat Hutan Kota. Hal ini jelas sekali fungsinya, dimana konon kabarnya Hutan Samida tersebut sekarang telah menjadi Kebun Raya Bogor, hutan kota terbesar di Indonesia. Yang tentunya sangat bermanfaat untuk mencegah banjir," ujar Anton.
Kemudian, sambung Anton, yang terakhir adalah membuat Telaga yang berfungsi sebagai bendungan kanal penampung air. Jadi, bila suatu waktu terjadi air meluap dimana sungai sudah tidak sanggup menampung, maka ada telaga danau yang sudah siap menampungnya.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, Anton membayangkan bila setiap kota besar di Indonesia bisa mengikuti konsep yang sudah dicanangkan oleh Sribaduga Maharaja di Prasasti Batutulis Bogor tersebut. Hal itu penting, agar kota-kota di Indonesia bisa terlindungi dari bencana seperti banjir dan longsor.
" Prasasti Batutulis ini merupakan konsep tanda peringatan yang sangat spektakuler. Bisa kita bayangkan, konsep tersebut dibuat pada masa pemerintahan Sribaduga Maharaja tahun 1482 M - 1521 M, dan dikodifikasi pada 1533 M. Pada masa itu penduduk manusia masih sedikit, bangunan masih terbatas, hutan masih rimbun, tanah masih kuat, pepohonan pun masih hijau, namun sudah terpikir konsep yang sangat visioner jauh kedepan," papar Anton
Makanya, lanjut Anton, tidak mengherankan jika gelar sang Prabu adalah Sri Baduga. Karena memang Sri Baduga adalah sosok yang mampu memandang jauh kedepan, sehingga bisa dikatakan sebagai seorang Raja yang visioner.
Baca: Jokowi dan Basuki Tinjau Pengendali Banjir Kali Bogel
Dan tidak berlebihan bila sang Prabu juga menyandang gelar sebagai Prabu Siliwangi, yang bermakna Raja dengan nama yang harum.
Sebab, Sri Baduga alias Prabu Siliwangi adalah pelopor pertama konsep penataan pembangunan berwawasan lingkungan hidup di Nusantara. Bahkan tidak menutup kemungkinan juga, yang pertama di dunia, berdasarkan fakta artefak sejarah yang ada.
"Padahal, Gubernur-gubernur masa kini saja belum tentu nampu melaksanakan sebagaimana yg sudah dibuat dan diingatkan Raja Pajajaran di abad ke 15 yang lalu. Memang sebuah peringatan yang sudah usang dan kuno. Tapi bisa kita saksikan dan analisa sendiri, ternyata masih sangat relevan bila dilaksanakan pada masa kini," papar Anton.
"Semoga kita semua terhindar dari bencana banjir. Apalagi bila pemimpin-pemimpin kita mampu mengikuti dan melaksanakan isi dari Prasasti Batutulis Bogor tersebut," pungkasnya.