Ikuti Kami

Jejak Keislaman dalam Jati Diri Bung Karno

Gambaran jati diri Bung Karno tersebut dipengaruhi sejak masa remaja. Ketika usia 15 tahun atau tepatnya di tahun 1916.

Jejak Keislaman dalam Jati Diri Bung Karno
Ir. Soekarno (kanan) berjumpa dengan, Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi (orang kedua dari kanan)

Bung Karno adalah sosok pejuang. Dia meruakan pemikir yang menjadikan pemikiran-pemikirannya sebagai asas dan metode perjuangan untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Selain sebagai pemikir dan pejuang kebangsaan, Bung Karno juga seorang pemikir dan pejuang Islam

Dari sosok Bung Karno itu kemudian kita mengenal setidaknya 5 dimensi Bung Karno. Pertama, Bung Karno sebagai pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927. PNI yang ia dirikan telah dijadikan alat untuk mengusir penjajah asing. Kedua Bung Karno sebagai ideologi bangsa yang telah menggali nilai-nilai Pancasila. 
Ketiga sebagai proklamator kemerdekaan RI. Keempat sebagai Presiden RI Pertama. Kelima, sebagai tokoh dunia yang menentang imperialisme dan kolonialisme. Salah satu jasa Bung Karno kepada dunia Internasional adalah menggagas dan menjadikan Negara Indonesia sebagai tuan rumah pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung.

Baca: Dekrit 5 Juli 1959, Upaya Bung Karno Selamatkan Revolusi

Sejak usia muda, pemikiran Bung Karno senantiasa mengikutsertakan pemikiran tentang Islam. Tahun 1926, Bung Karno sudah menulis pemikiran tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang tertuang dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Bung Karno berpandangan, tiada halangan kaum Islam untuk bekerja sama dengan kaum Nasionalisme dan Marxis ketika menghadapi musuh bersama, yakni kolonialisme dan imprealisme yang telah menjajah bangsa Indonesia ratusan lamanya. 

Begitu pula ketika tahun 1927, Bung Karno mendirikan partai nasional dan sosio-demokrasi. Konsep marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Konsepsi marhaenisme ini kemudian disempurnakan dengan konsepsi ketuhanan. Dalam perjuangannya, sewaktu diasingkan Belanda ke Ende dan Bengkulu, Bung Karno melengkapi dan mematangkan teori perjuangan ideologi itu dengan mendalami agama Islam sehingga marhaenisme menjadi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. 

Kemudian menjelma menjadi Pancasila pada pidato tanpa teks tanggal 1 Juni 1945 disidang BPUPK yang dikenal dengan pidato lahirnya Pancasila. Dalam Pancasila pun, Bung Karno membawa dimensi ketuhanan sebagai salah satu sila yang diyakininya merupakan jati diri bangsa Indonesia. 

Pancasila itu sendiri juga dengan jujur diakui Bung Karno merupakan ilham yang diturunkan Tuhan kepadanya. 

Image result for menjelang 1 Juni 1945

Menurut pengakuannya, pada malam menjelang 1 Juni 1945, ia bertafakur, menjelajahi lapis demi lapis lintasan sejarah bangsa, menangkap semangat yang bergelora dalam jiwa rakyat, dan akhirnya menengadahkan tangan meminta petunjuk kepada Allah SWT agar diberi jawaban yang tepat atas pernyataan tentang dasar negara yang hendak dipergunakan untuk meletakkan negara Indonesia merdeka diatasnya. 

Sampai akhirnya, di depan sidang BPUPK, Bung Karno mempersembahkan Lima Mutiara yang disebut Pancasila itu, diatasnya berdiri negara Indonesia merdeka.

 Konsepsi ketuhanan bukan sekadar pelengkap yang baru datang tiba-tiba pada tanggal 1 juni 1945. Jika kita lihat dalam sejarah pemikiran Bung Karno, akan ditemukan bahwa Bung karno sudah sejak lama mendalami dan memahami soal ketuhanan ini. Dalam menggambarkan tentang jati dirinya, Bung Karno memberi penegasan soal ketuhanan, Dalam Buku Sarinah, dikatakannya bahwa "dalam cita-cita politiku, aku ini seorang nasionalis, dalam cita cita sosialku aku ini sosialis, di dalam cita-cita sukmaku aku ini sama sekali theis. Sama sekali percaya kepada Tuhan, sama sekali mengabdi kepada Tuhan".

Gambaran jati diri Bung Karno tersebut dipengaruhi sejak masa remaja. Ketika usia 15 tahun atau tepatnya di tahun 1916, Bung Karno dititipkan oleh ayahanda beliau, Raden Soekemi Sosrodihardjo untk tinggal dirumah tokoh Islam besar pada masa itu Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Bung Karno ketika diwawancarai Cindy Adams menuturkan "Pak Tjokro adalah Idolaku. Aku muridnya. Secara sadar  atau tidak ia telah menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan membacakan buku bukunya". 

Baca: Sepanjang Hidup, Bung Karno Terima 26 Gelar Doctor HC

Pada tahun-tahun tersebut, Bung Karno mengakui bahwa konstruksi pemikirannya dipengaruhi oleh Islam. Dalam buku Solichin Salam, Bung Karno mengakui bahwa dirinya tertarik oleh Islam. Bung Karno mengaku  "Tuhan amatlah bermurah hati pada saya. Pada waktu aku masih muda, diberikannya kepadaku pemimpin-pemimpin yang utama, Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo, Ahmad Dahlan...Mereka semua itu menanamkan pengaruh yang dalam pada jiwa saya dan dahaga, terutama sekali Tjokroaminoto, termasuk salah satu guru saya yang amat saya hormati, kepribadiannya yang menarik saya dan Islamismenya yang menarik saya pula oleh karena tidak sempit"

Melalui berbagai forum dan diskusi, serta telaahnya terhadap karya-karya Tjokroaminoto, Bung Karno mulai memahami ajaran Islam secara intensif ketika itu. Pada masa remajanya kesadaran diri sebagai seorang muslim muncul beriringan dengan kesadaran antikolonialisme dan imprealisme. Sehinga Islam yang berkembang dalam diri Bung Karno adalah Islam yang antipenindasan dan anti penjajahan. Namun demikian, tetap saja cakrawala berpikir Bung Karno tidak terbatas pada suatu paradigma religiusitas keislaman saja. 

Ia juga mempelajari ajaran-ajaran teologis lainnya yang hidup dalam alam pikiran masyarakat nusantara, dan hal itu makin memperkaya keyakinannya akan Sang Khaliq. Ketertarikannya pada Islam, membuatnya menjadi santri dan mengikuti tablig-tablig Kiai Ahmad Dahlan. 

Pada usia 15 tahun, Bung Karno mengakui, dalam seminggu hingga tiga kali mengikuti tablig-tablig Kiai Ahmad Dahlan di Kota Surabaya. Tahun 1926 adalah tahun ketika Bung Karno memperoleh kematangan dalam 3 dimensi pemikirannya. Dimensi yang ketiga dari dua dimensi pemikiran Bung Karno sebelumnya itu adalah Ketuhanan. 

Bung Karno mengatakan : 
"Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak didasarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Bahkan selagi aku melangkah ragu pada awal jalan yang menuju kepada Ketuhanan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan seseorang. Menurut jalan pikiranku, kemerdekaan bagi kemanusiaan meliputi juga kemerdekaan beragama"

Proses Bung Karno menemukan keyakinan ketuhanan dan keagamaannya itu menemukan momentum pematangannya saat ia dipenjara dan diasingkan. Pada 1930, sebagai Ketua PNI yang dijebloskan ke Penjara Banceuy di Bandung, karena tuduhan subversif terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Dari Penjara Banceuy, Bung Karno dipindahkan ke Penjara Sukamiskin dengan masa hukuman 4 tahun. 

Dalam penuturannya kepada Cindy Adams, Bung Karno mengatakan : "Bangsa Indonesia dilahirkan untuk mengabdi kepada Tuhan. Tidak menjadi soal jalan kepercayaan mana yang kami lalui, kami mengaku hanya kekuasaan Tuhanlah yang dapat membuat kami bertahan melalui abad abad penderitaan kami. Kami adalah bangsa agraris dan apa yang membuat segala tumbuh? Tuhan Yang Maha Pencipta ! Kami menerima ini sebagai kenyataan hidup."

Pada tahun 1934, Bung karno diasingkan pemerintah Belanda ke Ende, daerah terpencil di pulau Flores. Di pulau kecil di tepi pantai laut Ende itulah Bung Karno memiliki banyak waktu untuk merenung dan mematangkan konsepsi ketuhanan dalam kaitannya dengan nilai-nilai dasar  kebangsaan yg sedang digalinya. 

Baca: 118 Tahun Bung Karno: Abadi Bersama Gagasan Besarnya

Bung Karno mengisahkan:
 "Di Ende tempat terpencil dan sepi itu aku memiliki banyak waktu untuk berpikir. Di depan rumahku tumbuh sebatang pohon kluwih. Berjam-jam lamanya aku bersandar pada pohon itu, memanjatkan harapan dan keinginan. Di bawah dahan-dahannya aku berdoa dan berpikir, mengenai suatu hari.... suatu hari... Itu adalah perasaan yang sama yang menguasai MacArthur di kemudian hari. Dengan setiap  sel saraf berdenyut dalam seluruh tubuhku, aku merasakan bahwa bagaimanapun juga, dimana saja, kapan saja, aku akan kembali. Hanya semangat Patriotisme yang menyala nyala itu yang masih berkobar di dalam dadaku, yang membuat aku terus hidup".

Suasana terasing menciptakan kesadaran religiusitas Bung Karno. Kesadaran ini mendorongnya lebih banyak belajar agama yang rasa penasarannya sedikit terobati. Di sana ia bertemu dengan pastor-pastor Katolik yang bersimpati dengan perjuangannya, yang memberinya ruang pertukaran pikiran dan wawasan keagamaan yang lebih lapang.

 Selain itu, berkat sumbangan buku-buku agama dan surat menyurat tentang Islam, dengan tokoh-tokoh keagamaan, terutama dengan Ahmad Hassan, pemimpin Persatuan Islam (Persis) di Bandung, memberinya kesempatan mendalami pengetahuan agama Islam secara lebih luas. 

Kesadaran religiusitas ini lantas memberikan dimensi Ketuhanan terhadap konsep Marhaenisme, selain asas "sosio-basionalisme" dan "sosio-demokrasi". Pada titik ini, kandungan Pancasila telah menemukan bentuk awalnya. Dalam pengakuan Bung karno dikatakannya:

 "Di Pulau Flores sepi, dimana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila."

Bekal keagamaan yang dipelajarinya di Ende memperoleh ruangan penguaan dan pengalaman saat dibuang ke Bengkulu pada tahun 1938. Di sini beliau memperoleh pengalaman praktis sebagai anggota dan guru pada perkumpulan Muhammadiyah di Bengkulu pada tahun 1938-1943. Dalam perkembangan selanjutnya, Bung Karno tumbuh sebagai pemimpin politik dengan penghayatan religiusitas yang dalam. Hal ini tercermin dari uraiannya tentang Pancasila. 

Image result for Pada Pidato 1 Juni 1945

Pada Pidato 1 Juni 1945, Bung Karno antara lain mengatakan:

    "Tapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme agama'. dan hendaknya negara Indonesia suatu negara yang bertuhan. Marilah kita amalkan, jalankan agama dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah saling hormat-menghormati satu sama lain."

Dari penjelasan tentang pengertian dan makna filosofis sila Ketuhanan dan pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPK tersebut, tergambar dengan jelas bahwa Bung Karno menginginkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berketuhanan dan menolak konsep ateisme. 

Bung Karno juga menghendaki bangsa Indonesia menjadi bangsa yang religius, yang setiap umat Islamnya menjadi umat yang taat kepada perintah agamanya melalui petunjuk kitab suci Al Quran dan Al Hadist, umat kristiani menjadi umat yang taat kepada perintah agamanya mengikuti petunjuk kitab suci Injil, begitu juga dengan umat beragama dan kepercayaan lainnya, menjadi umat yang taat sesuai petunjuk agama dan kepercayaannya masing-masing dengan cara saling hormat-menghormati dan hidup berdampingan dengan damai.

Tidak berhenti disitu, setelah menjadi Presiden RI pertama, Bung Karno tetap tidak meninggalkan dimensi ketuhanan dalam dirinya. Beberapa bukti diantaranya adalah pidato penutupan Muktamar Muhammadiyah tahun 1962, di Jakarta, Bung Karno mengatakan "Jikalau saya meninggal, supaya dikubur dengan membawa panji Muhammadiyah, atas kain kafan saya." 

Keinginannya tersebut diulangi kembali pada penuturannya kepada Cindy Adams, Bung Karno mengatakan "Yang senantiasa menjadi keinginanku ialah agar peti matiku diselubungi dengan panji Islam Muhammadiyah." 

Dari sini kita bisa melihat jika Bung Karno tidak menjiwai Islam sebagai bagian dari jiwanya yang hakiki, tidaklah mungkin ia mempunyai keinginan membawa panji Islam (Muhammadiyah) pada saat hari dipanggilnya kembali mengahadap Sang Khaliq.

Dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1954 di Surabaya, NU telah memberikan dan mengesahkan gelar Presiden Soekarno sebagai Waliyul Amri Ad Dharuri Bi Assyaukah (pemimpin pemerintahan di masa darurat yang kebijakan-kebijakannya mengikat oleh sebab kekuasaannya atau pemegang pemerintahan de facto dengan kekuasaan penuh). 
Organisasi sebesar NU, tentu sangat hati hati dan lewat pengkajian mendalam untuk memberi gelar tersebut. Kalau keislaman Bung Karno diragukan, NU tidak akan mungkin mau mengorbankan diri dengan memosisikan Bung Karno sebagai pemimpin di masa darurat yang kebijakan-kebijakannya dianggap sah dan mengikat bagi bangsa Indonesia.

Baca: Bung Karno Sudah Menolak Khilafah Sejak Lama
 
Pemikiran-pemikiran Bung Karno, termasuk pemikiran tentang Islam juga telah mendapat pengakuan dunia akademis. 

Bung Karno adalah satu-satunya putra bangsa Indonesia hingga saat ini yg pernah mendapatkan penghargaan akademis sebanyak 26 gelar Doktor Honoris Causa dari universitas dalam dan luar negeri. Beberapa di antara gelar penghormatan akademis tersebut, 3 diantaranya menegaskan tentang dimensi keislaman Bung Karno, seperti, gelar Doktor Honoris Causa yg ke-16 pada tanggal 24 April 1960 dari Al Azhar University, Kairo, Mesir dalam Ilmu Filsafat. 

Doktor Honoris Causa yg ke-24 pada tanggal 2 Desember 1964 dari IAIN (UIN Jakarta) dalam fakultas Ushuludin Jurusan Dakwah dengan pidatonya berjudul Tjilaka Negara Jang Tidak ber-Tuhan. Gelar Doktor Honoris Causa yg ke 26 dari Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 3 Agustus 1965 dalam Filsafat Ilmu Tauhid dengan pidatonya yg berjudul Tauhid Adalah Djiwaku.

Selain itu, sumbangsih dan penghargaan Bung Karno kepada dunia Islam diluar negeri juga begitu luar biasa. Hal ini dapat kita lihat dalam peristiwa anatara lain, Bung Karno adalah Tokoh ditemukannya kembali makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan (dahulu bagian dalam negara komunis Uni Soviet) pada tahun 1961. 

Bung Karno juga merupakan tokoh dibalik dihidupkannya kembali aktivis Masjis Jamu Muslimin (Masjid Biru) di Saint Petersburg, Uni Soviet. Bung Karno pula yg mengusulkan kepada Raja Saudi Arabia agar Padang Arafah yg gersang ditanamai pohon. Usul Presiden Soekarno itu akhirnya disetujui pemerintah Saudi Arabia dan Pohon tersebut dinamakan Syajarah Soekarno atau Pohon Soekarno.

Related image

Dalam sidang BPUPK, Bung Karno tampak sangat terang sikapnya dalam membela Islam. Ketika menguraikan sila mufakat atau demokrasi dalam Pidato 1 Juni 1945, Bung Karno jelas sekali ingin membela Islam dalam Badan Permusyawaratan.

 "Kita, saya pun, adalah orang Islam, Maaf beribu ribu maaf, keislaman saya berangkali masih jauh dari sempurna, tetapi kalau saudara saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan di dalam badan  perwakilan rakyat".

Sikap Bung Karno yang membela Islam juga tercatat dalam sejarah sidang BPUPK. Setelah Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 diterima secara aklamasi oleh sidang BPUPK, Ketua BPUPK, Radjiman Wedyodiningrat kemudian membentuk Panitia Kecil yang berjumlah 8 orang dan diketuai oleh Bung Karno yang tugasnya merumuskan hasil sidang BPUPK tersebut yang bahan bakunya bersumber dari isi Pidato Bung Karno. 

Di tengah masa reses, atas inisiatif prakarsa bung karno, kemudian  dibentuk Panitia Kecil yang berjumlah sembilan orang. Panitia sembilan yg dibentuk dan diprakarsai serta diketuai oleh Bung Karno ini kemudian melahirkan naskah Piagam Djakarta yg disepakati tanggal 22 Juni 1945. Piagam Djakarta adalah Naskah rancangan Pembukaan UUD yg didalamnya memuat sila-sila Pancasial dan dibelakang sila Ketuhanan terdapat tujuh kata yg berbunyi "Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Image result for panitia sembilan

Perubahan panitia delapan menjadi panitia sembilan tersebut didasarkan atas penghormatan dan niat baik Bung Karno untuk menjaga keseimbangan antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Dalam panitia delapan, komposisi yang mewakili golongan Islam hanya dua orang dan golongan kebangsaan enam orang. 

Sementara, dalam panitia sembilan yang dibentuk atas inisiatif dan prakarsa Bung Karno, berdiri ditengah-tengah sebagai Ketua anitia Sembilan. Seluruh anggota Panitia Sembilan tersebut juga menandatangani naskah Piagam Djakarta termasuk Bung Karno.

Meskipun ada sebagian pihak yang mengaitkan Bung Karno dengan dihapuskannya tujuh kata di belakang sila Ketuhanan sehingga berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, tentunya kita harus melihat kembali sejarahnya secara objektif. 

Dihapusnya tujuh kata tersebut pada awalnya atas inisiatif, Mohammad Hatta. Tentang Penghapusan "tujuh kata" tersebut, Mohammad Hatta punya andil besar, seperti  diakui sendiri dalam otobiografinya, Memoir Mohammad Hatta. Pada pagi hari menjelang dibukanya rapat PPKI, Hatta mendekati tokoh-tokoh Islam agar bersedia mengganti kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam, bagi pemeluk pemeluknya" dalam rancangan Piagam Jakarta dengan Kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Baca: Keberanian Bung Karno Menentang Amerika dan Inggris

Alasannya demi menjaga persatuan bangsa. Berkat kenegarawan tokoh-tokoh Islam pada waktu itu, semua pihak akhirnya menerima dihapusnya tujuh kata tersebut. Azyumardi Azra dalam orasi ilmiahnya di acara Sarwono Memorial Lecture, LIPI tanggal 20 Agustus 2015 mengatakan "Dari Proses penerimaan Pancasila, jelas terlihat para pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu lebih mementingkan kerukunan dan integrasi nasional dari pada kepentingan Islam, atau umat muslim belaka."

Dalam suatu peristiwa di sidang kedua BPUPK, ketika itu salah seoarng anggota BPUPK, Latuharhary menyampaikan keberatannya atas hasil rumusan Piagam Djakarta, yang dinilainya dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan lain.

Tanggapan Latuharhary merangsang perdebatan pro-kontra menyangkut "tujuh kata" beserta pasal-pasal ikutannya, seperti "agama negara" dan syarat agama seorang presiden, yang nyaris membawa sidang ke jalan buntu. Berkat kewibawaan Bung Karno, untuk sementara waktu, kemacetan bisa diatasi. Bahkan, pada tangal 16 Juli 1945, dengan berlinang air mata, Bung Karno menghimbau agar yang tidak setuju dengan hasil rumusan Panitia Sembilan bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia. 

Dengan demikian hasil rumusan Piagam Djakarta (dengan "tujuh kata"-nya) itu bertahan hingga akhir masa persidangan BPUPK yang kedua (17 Juli 1945). Keinginan kuat Bung Karno untuk selalu menyatukan kekuatan Islam dan kebangsaan juga dapat kita lihat ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. 

Sekalipun Bung Karno menyatakan UUDS tahun 1950 tidak berlaku lagi dan kembali kepada UUD Tahun 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945, yang berarti kita kembali pada prinsip negara kebangsaan Indonesia, namun dalam bagian konsideran/menimbang secara jelas bahwa semangat piagam Djakarta menjiwai dan menjadi satu kesatuan dengan UUD 1945.

Disamping itu, pada percaturan dunia, pembelaan Bung Karno terhadap Islam juga ditunjukannya sewaktu Indonesia menolak bermain bola dengan Israel dalam penyisihan Piala Dunia Tahun 1958 karena Israel dianggap telah menjajah bangsa Palestina. 

Langkah Bung Karno membela kepentingan dunia Islam dilanjutkannya kembali saat Indonesia memutuskan keluar dari PBB tahun 1965, karena dianggap menguntungkan Israel dan merugikan negara Arab (termasuk Palestina).

Negara-negara lain di dunia, khususnya negara-negara Islam juga begitu menghormati Bung Karno sehingga beberapa negara seperti Mesir mengabadikan hubungannya dengan banga Indonesia dengan memberikan nama  Bung Karno Square Khyber dan Bung Karno Bazar pada plasa yang mereka miliki.

Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta sejarah perkembangan pemikiran dan sumbangsih Bung Karno kepada Islam dan dunia Islam tersebut, maka pandangan dan tuduhan yang mengatakan Bung Karno seorang sekuler apa lagi seorang komunis, adalah pendapat dan tuduhan yang ahistoris dan tidak sesuai dengan fakta jati diri Bung Karno yang sebenarnya

.Islam merupakan konstruksi awal pembentukan pemikiran kenegaraan Bung Karno. Ia tidak saja Islami dari aspek pemikirannya, tetapi ucapan, tindakan, bahkan kebijakan politiknya memancarkan nilai-nilai Islam Nusantara yang berkemajuan. 

Bung Karno juga senantiasa menyintesiskan Islam dan nasionalisme serta menjadikan keduanya sebagai inti dari nilai-nilai Pancasila agar dapat bersatu padu menjadi kekuatan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan dan membangun negeri. 

Bung Karno adalah seorang pejuang nasionalis dan juga pejuang Islam yang sama sekali percaya kepada Tuhan.  Bagi Bung Karno, dalam konteks Indonesia, antara Islam dan Nasionalisme ibarat dua rel kereta api. Keduanya harus saling berdampingan dengan kokoh dan seimbang. Jika salah satunya relnya patah, maka bukan hanya kereta api tersebut tidak dapat mengantarkan penumpangnya sampai ke tujuan, justru akibat fatalnya adalah kereta api tersebut akan terjungkal dan mencelakakan penumpang yang ada di dalamnya. 

Pancasila, yang ada di dalamnya mengandung unsur-unsur keislaman dan kebangsaan adalah laksana dua rel kereta api yang jika keduanya berdampingan dengan kokoh akan mengantarkan NKRI dengan segenap rakyatnya yang majemuk, baik dari aspek suku, agama, ras etnis dan antargolongan sampai kepada tujuannya, yaitu suatu tatanan masyarakat adil dan makmur serta bahagia lahir-batin melalui pembangunan spritual dan material secara seimbang.

 

(Disadur dari Buku "Bung Karno Islam dan Pancasila", Dr Ahmad Basarah)

Quote