Lahirnya negara Indonesia sebagai negara kebangsaan dengan dasar ideologi negara Pancasila, tidak terlepas dari pergulatan pemikiran dan penemuan Bung Karno tentang negara yang cocok bagi realitas sosial dan budaya Indonesia. Jika pelacakan dimulai dari satu dasawarsa sebelum Indonesia merdeka, maka tampak jelas Bung Karno sudah memikirkan formula tentang hubungan antara negara dan agama secara leih fokus sejak akhir 1930-am, saat kemerdekaan Indonesia sudah mulai tampak di depan mata.
Semula Bung Karno melontarkan pendapat yang sangat kontroversial ketika mengatakan bahwa negara dan agama harus dipisahkan dan harus berjalan sendiri-sendiri agar keduanya sama sama maju. Islam dan negara akan maju jika dipisahkan dan akan saling menghambat jika disatuhkan. Pendapat Bung Karno yang seperti itu tampak dengan jelas melalui tulisan-tulisannya di Majalah Panji Islam yg terbit di Medan, yg kemudian di- counter oleh tokoh Islam lainnya, M. Natsir, dengan tulisan-tulisan yang sebanding.
Pada tahun 1938 dan 1939, Bung Karno memublikasikan tulisan-tulisannya dengan materi yang sangat provokatif, terutama bagi umat Islam, untuk menemukan formula mengenai hubungan antara negara dan Islam. Tulisan-tulisan Bung Karno tersebut hadir dengan berbagai judul yang juga menantang, seperti, Memudakan Pengertian Islam, Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Islam Sontoloyo, dan sebagainya. Dari tulisan-tulisannya itu tampak jelas bahwa Bung Karno, semula mengusulkan paham negara kebangsaan sekuler, tetapi akhirnya Bung Karno menemukan formula yang bagus setelah pendapat-pendapatnya berinteraksi dengan pendapat-pendapat lain. Pandangan Bung Karno itu dibantah dan berinteraksi dengan tulisan-tulisan yang juga bagus dari Natsir, sahabat Bung Karno yang juga pahlawan nasional, yang ketika itu mengusulkan agar Indonesia didirikan sebagai negara berdasar Islam. Natsir membuat tulisan-tulisan yang tidak kalah menariknya terlihat, Cinta Agama dan Tanah Air, Ichwanus Shafa, Rasionalisme dalam Islam, Islam dan Akal Merdeka, Persatuan Agama dan Negara, dan Arti Agama dalam Negara.
Menurut Natsir, Islam siap mengatur ketatanegaraan tanpa harus diasosiasikan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah, yang kalah itu mundur karena dipimpin dengan baju agama oleh syekh-syekh dan bahlul-bahlul yang tidak bisa mengurus negara dan masyarakat seperti yang dikatakan oleh Bung Karno. Jika Bung Karno mengatakan bahwa Islam, akan maju kalau dipisahkan dari negara, maka Natsir mengatakan bahwa Islam dan negara bisa saling memajukan.
Perbedaan pandangan kedua tokoh tersebut sama-sama menarik, karena berangkat dari semangat untuk memajukan negara dan agama melalui pencarian formula mengenai hubungan antara negara dan agama bagi Indonesia, yang ketika itu sedang menyongsong kemerdekaannya. Bung karno dan Natsir sama-sama ingin memajukan Islam, tetapi Soekarno ingin memisahkan agama dari negara, sedangkan Natsir ingin agama menjadi dasar negara.
Baca Juga: Jejak Keislaman dalam Jati Diri Bung Karno
Interaksi ide yang sangat brilian itu pada akhirnya menghasilkan formula yang digagas oleh Bung Karno berupa formula yang bisa menampung keduanya, yakni, negara Pancasila atau negara kebangaan yang berketuhanan, yang kemudian dikemukakan oleh Bung Karno melalui pidatonya di depan Sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Indonesia bukan negara agama karena penyelenggaraanya tidak didasarkan pada keyakinan dan hukum satu agama tertentu, tetapi Indonesia juga negara sekuler, karena penyelenggaraan pemerintahannya tetap dijiwai oleh spirit dan nilai-nilai luhur agama-agama yang dianut oleh rakyat Indonesia. Hukum-hukum publik yang diberlakukan di Indonesia dibentuk berdasar proses ekletisasi dari nilai-nilai berbagai agama dan keyakinan, serta sosial dan budaya bangsa Indonesia yang harus diramu menjadi hukum nasional. Adapun untuk hukum privatnya, karena lebih bersifat peribadi, setiap orang bisa melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa saling mengganggu. Dengan demikian, polemik mengenai hubungan antara negara dan agama sebenarnya sudah diakhiri dengan penerimaan dasar "ketuhanan" yang menggariskan bahawa negara tidak memberlakukan hukum agama tertentu, tetapi negara, memproteksi dan melayani setiap warganya yang ingin melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.
Menurut saya, dasar ideologi negara Pancasila yang dicetuskan tanggal 1 Juni 1945 di depan Sidang BPUPKI, dalam kaitannya dengan sila "Ketuhanan" merupakan hasil penggalian oleh Bung Karno setelah, antara lain, bergelut dalam wacana melalui diskusi, korespondensi, dan polemik mengenai hubungan antara negara dan agama. Bung Karno telah berhasil menawarkan formula yang sangat fundamental sebagai hasil penggaliannya melalui wawasannya yang luas, pemikirannya yang terbuka, dan integritasnya yang tangguh sebagi muslim bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Dengan tawadhu' (rendah hati) Bung Karno mengatakan, dirinya bukan orang yang membuat Pancasial melainkan hanya orang yang menggali dan menemukan Pancasial dan bumi Indonesia.
Alhasil, Bung Karno yang berwawasan luas dengan pemikiran yang terbuka itu, dalam penggaliannya telah berhasil merumuskan jalan tengah, jalan kompromi antara pemikirannya sendiri dengan pemikiran pemikiran lain, sehingga berhasil menawarkan formula ideal untuk Indonesia yang kemudian kita kenal sebagai negara Pancasila. Jika dilihat dari sudut agama dapat dikatakan, Bung Karno telah berhasil membuat formula mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur (modus viviendi) yang harus ditaati. Kesepakatan itu adalah Pancasila, yang dalam konsep ilmiah untuk identifikasi negaranya di dalam literatur sering disebut sebagai religius nation state, negara kebangsaan yang berketuhanan atau negara kebangsaan yang beragama, bukan negara agama dan bukan negara sekuler.
Dari sudut Isilam pula dapat dikatakan bahwa Bung Karno adalah penganut Islam, yang taat pada agamanya sebagaimana layaknya kaum santri dalam antropologis. Kelebihannya, Bung Karno adalah pengibar syiar Islam sebagai mana rahmatan lil alamien, agama yang memberi rahmat dan kasih sayang untuk seluruh alam, yang untuk konteks Indonesia diberi landasan Pancasila. Bung Karno mempunyai semangat mensyiarkan Islam melalui apinya atau substansi ajarannya, bukan melalui formalitas-simboliknya.
(Disadur dari Buku "Bung Karno Islam dan Pancasila", Dr Ahmad Basarah)