Assalamu'alaikum,
Belum juga saya bisa tulis artikel tentang nomor
ekstra taqlid sebagaimana saya janjikan, karena
repot "mereportir" sekolahnya saya punya anak,
dan karena ...
di Ende ada datang seorang guru-pesantren dari
Jakarta golongan kolot, dan kebetulan juga
seorang lagi golongan muda dari Banyuwangi,
sehingga, walaupun mereka itu dua-duanya
datang di Ende buat dagang, toh saban malam
mertamu di rumah saya.
Sampai jauh-jauh-malam mereka soal-bersoal satu
sama lain dan kadang-kadang udara Ende menjadi
naik temperatur hingga hampir 100° Saya tertawa
saja, senang dapat melihat orang dari
"dunia ramai"! hanya menjaga saja jangan
sampai udara itu terbakar sama sekali. Dan
selamanya saya diminta menjadi hakim.
Tak usah saya katakan pada tuan,
bahwa kehakiman saya itu, sering membikin
tercengangnya itu guru-pesantren, padahal
seadil-adilnya menurut hukum!
Karena rupanya berhadapan dengan orang
interniran politik, maka kawan muda itu
bertanya: bagaimanakah siasahnya, supaya
zaman kemegahan Islam yang dulu-dulu itu
bisa kembali? Saya punya jawab ada singkat:
"Islam harus berani mengejar zaman."
Baca Juga: Surat Islam Dari Ende, 26 Maret 1935
Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam
ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup
kemampuan buat "mengejar" seribu tahun itu,
niscaya ia akan tetap hina dan mesum.
Bukan kembali kepada Islam glory yang dulu,
bukan kembali kepada "zaman khalifah",
tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman.
itulah satu-satunya jalan buat menjadi
gilang-gemilang kembali.Kenapa toh kita
selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus
mengkopi "zaman khalifah" yang dulu-dulu?
Sekarang toh tahun 1936, dan bukan tahun
700 atau 800 atau 900? Masyarakat toh
bukan satu gerobak yang boleh kita
"kembalikan" semau-mau kita? Masyarakat
minta maju, maju ke depan, maju ke muka,
maju ke tingkat yang "kemudian", dan
tak mau disuruh "kembali"!
Kenapa kita musti kembali ke zaman
"kebesaran Islam" yang dulu-dulu? Hukum
Syari'at? Lupakah kita, bahwa hukum Syari'at
itu bukan hanya haram, makruh, sunah, dan
fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada
juga barang "mubah" atau "jaiz"? Alangkah
baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula
kepada apa yang mubah atau jaiz ini!
Alangkah baiknya, kalau ia ingat, bahwa ia di dalam
urusan dunia, di dalam urusan statesmanship ,
"boleh bergias, boleh berbid'ah, boleh membuang
cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru,
boleh ber-radio, boleh berkapal-udara, boleh
berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper-
modern," asal tidak nyata dihukum haram atau
makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah satu
perjuanganyang paling berfaedah bagi umat Islam,
yakni perjuanganmenentang kekolotan.
Baca Juga: Surat Islam Dari Ende, 14 Desember 1935
Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan
kekolotan itu, barulah ia bisa lari-secepat kilat
mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya
ke muka itu. Perjuangan menghantam
orthodoxie ke belakang, mengejar zaman ke
muka, perjuangan inilah yang Kemal Ataturk
maksudkan, tatkala ia berkata, bahwa "Islam
tidak menyuruh orang duduk termenung
sehari-hari di dalam mesjid memutarkan
tashbih, tetapi Islam ialah perjuangan".
Islam is progress: Islam itu kemajuan!
Tindakan-tindakan ulilamri-ulilamri di zaman
Islam-glory itu tidaklah, dan tidak bolehlah,
menjadi hukum bagi umat Islam yang
tak boleh diubah atau ditambah lagi, tetapi
hanyalah boleh kita pandang sebagai
tingkat-tingkat perjalanannya sejarah,
merely as historic degrees.
Bilakah kita punya penganjur-penganjur Islam
mengerti falsafatnya historic degrees ini,
membangunkan kecintaan membunuh segala
"semangat-kurma" dan "semangat-sorban"
yang mau mengikatIslam kepada zaman kuno
ratusan tahun yang lalu, kecintaan berjuang
mengejar zaman, kecintaan berkias dan
berbid'ah di lapangan dunia sampai
kepuncak-puncaknya kemoderenan, kecintaan
berjoang melawan segala sesuatu yang
mau menekan umat Islam ke dalam kenistaan
dan kehinaan?
Kabar Endeh: sehat-wal'afiat. Bagaimana di sini?
Wassalam,
SUKARNO
Catatan Kaki:
Dalam surat itu Bung Karno juga menyitir ucapan
Kemal Ataturk yang menyebut, “Islam tidak
menyuruh orang duduk termenung sehari-hari
dalam masjid memutar tasbih, tetapi Islam
ialah perjuangan.”
Selaras dengan Ataturk, Bung Karno
menganggap bahwa Islam is progress.
Islam itu Kemajuan.
“Bilakah kita punya penganjur-penganjur Islam
mengertifalsafahnya historic degrees ini,
membangunkan kecintaanmembunuh segala
‘semangat kurma’ dan ‘semangat sorgan’ yang
mengikat Islam kepada zaman kuno ratusan
tahun yang lalu,” tulis Bung Karno.